Misteri Makam Kembar Jaka Tingkir

TAHUN 1582. Dua kerajaan besar, Pajang dan Mataram, itu bertemu di kawasan Prambanan. Di atas kuda coklat kesayangannya, Sutawijaya alias Panembahan Senopati merangsak, memimpin ribuan prajuritnya menghadapi pasukan Pajang. Sementara di tengah pasukan Pajang yang mulai kocar-kacir, Sultan Hadiwijaya berusaha menguasai keadaan. Gajah tungganggannya tak lagi gesit, karena penuh luka.

Hadiwijaya alias Joko Tingkir terus berusaha menumbuhkan semangat prajuritnya. Baginya, ini memang perang yang melelahkan. Setelah berhari-hari menembus belukar dari Pajang, untuk menyerbu Mataram di Kota Gede, pasukannya justru dihadang saat melintasi kawasan Prambanan.

Hadiwijaya tahu, ajalnya sudah dekat. Artinya, sebentar lagi kerajaanya yang dibangun dengan susah payah pun akan runtuh. Tapi anak putra Ki Ageng Pengging ini tak akan menyerah. Meski yang dihadapi dalam perang ini adalah anak angkatnya sendiri; Sutawijaya.

Ia tahu, tak akan lama lagi ramalan Sunan Prapen akan terjadi: Mataram akan menghancurkan Pajang! Tapi barangkali ini memang salahnya sendiri. Sudah sepantasnya Sutawijaya marah, karena ia telah membunuh Pangeran Pabelan, sekaligus membuang ayahnya, Tumenggung Mayang, yang tak lain adik ipar Sutawijaya, ke Semarang.

“Tapi apakah aku sepenuhnya salah? Bukankah Pabelan yang memulai semua perkara ini, karena berani menyusup ke keputren dan memadu asmara dengan putriku, sekar kedaton?” Hadiwijaya mencoba membela diri.

Tapi semuanya kini sudah terjadi. Perang terus berkecamuk, dan pasukan Pajang, meski jumlahnya dua kali lipat dari pasukan Mataram, semakin terdesak. Sultan Hadiwijaya tak mampu lagi membangkitkan semangat pasukannya. Sebuah tombak yang meluncur deras tepat di perut gajah yang ditungganginya, membuat bekas senopati Kerajaan Demak ini terungkur. Raja besar itu semakin terguncang ketika di tengah kecamuk perang, Gunung Merapi tiba-tiba meletus dan laharnya menerjang pasukan Pajang yang berperang dekat gunung tersebut.

Sultan Hadiwijaya tahu, senjakala baginya sudah tiba. Ia pun menarik sisa-sisa pasukannya mundur. Dalam perjalanan pulang, ia singgah ke makam Sunan Tembayat, namun tak mampu membuka pintu gerbang makam. Ia pun merasa ajalnya akan segera tiba. Tapi ia ingin mati di Pajang. Malang, akibat luka-luka perangnya, Sultan Hadiwijaya jatuh dari punggung gajah tunggangannya. Si Jaka Tingkir ini akhirnya meninggal dunia tahun 1582, dimakamkan di desa Butuh, Sragen, yang merupakan kampung halaman ibu kandungnya, Nyi Ageng Pengging.

Lima tahun setelah kematian Sultan Hadiwijaya alias Jaka TIngkir, Kerajaan Pajang tamat. Pajang pun menjadi negeri bawahan Mataram, dipimpin oleh seorang bupati, yaitu Pangeran Gagak Baning, adik Sutawijaya.

Di manakah Sultan Pajang itu dimakamkan?

Setelah ratusan tahun kematiannya, setidaknya hingga kini ada dua makam yang diyakini masyarakat sebagai makam Sultan Hadiwijaya. Tidak masuk akal memang, tapi itulah yang terjadi. Satu makam di Kota Gede, satunya lagi di Desa Butuh, Kecamatan Plupuh, Sragen.

Di Desa Butuh, makam Sultan Hadiwijaya itu berada di kompleks pemakaman di tengah hutan, sekitar 10 kilometer arah timur laut dari Kota Solo. Jalan menuju ke pemakaman itu tidak terlalu bagus. Jalannya berlubang-lubang dan sempit, sekitar tiga hingga empat kilometer dari kompleks pemakaman.

Jauh dari kebisingan kota, suasana kompleks pemakaman ini sangat teduh. Sebuah pohon besar berdiri tegak menaungi masjid kecil yang cukup terawat. Jalan masuk menuju gerbang pemakaman yang berlapis semen juga rapi, bersih, dan bersahaja.

Di kompleks inilah terletak makam penguasa Keraton Pajang (1550-1582), Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir. Raja Pajang yang saat masa kecil bernama Mas Karebet ini dikenal sebagai salah satu cikal bakal raja-raja Jawa. Pajang, kerajaan yang dipimpinnya, adalah embrio kerajaan Mataram yang kemudian berkembang lagi menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.

Untuk masuk ke bagian dalam kompleks pemakaman, pengunjung harus melepaskan alas kaki. Di sebelah dalam kompleks pemakaman yang dikelilingi tembok itu terdapat lebih dari 20 pusara. Sembilan pusara di antaranya berada di dalam rumah tua yang ada di dalam kompleks pemakaman. Pusara Joko Tingkir berada pada bagian tengah rumah. Di dalam rumah yang alasnya sudah bertegel itu juga terdapat pusara orangtua Joko Tingkir, yakni Ki Kebo Kenanga dan Nyi Kebo Kenanga.

Selain pusara, di halaman kompleks pemakaman terdapat kotak kaca yang di dalamnya berisi batang kayu yang sudah kropos. Batang kayu tua ini diyakini pernah dipakai Joko Tingkir pada abad ke-16 saat menuju Butuh melalui Bengawan Solo untuk berguru pada Ki Ageng Butuh. Sama dengan ayah Jaka Tingkir, Ki Kebo Kenanga, Ki Ageng Butuh juga berguru pada Syeh Siti Jenar, tokoh sufi yang dihukum mati oleh Wali Songo.

Tempat ziarah

Perjalanan hidup Jaka Tingkir yang pernah menjadi raja menyebabkan makamnya kerap dikunjungi orang, mulai dari rakyat jelata hingga pejabat di daerah maupun di pusat. Bahkan, tidak sedikit orang yang secara khusus bersemadi selama berhari-hari di makam yang dianggap keramat.

Selain itu, orang sering mendatangi makam tokoh, seperti Jaka Tingkir, karena raja dalam tradisi Jawa bukan sembarang orang. Ia harus kejatuhan wahyu kedaton terlebih dahulu. Dengan kata lain, seseorang harus mendapat anugerah dari kekuatan adikodrati sebelum menduduki takhta kekuasaan. Lebih dari itu, seorang raja juga harus memiliki kedekatan dengan kekuatan adikodrati Tak mengherankan, kisah raja yang sebelum berkuasa mendapat anugerah adikodrati dan berkemampuan membina hubungan secara kontinu dengan penguasa alam gaib sangat sering didapati dalam legenda raja Jawa

Seorang warga, sebut saja Agus, mengaku pernah semedi di makam Jaka Tingkir selama dua hari. Tak ada keinginan apa pun kenapa ia nglakoni (laku) di makam tersebut.

“Waktu itu malam Jumat Kliwon. Saya hanya ingin tahu rasanya lek-lekan (tidak tidur sepanjang malam) di makam. Saya hanya kuat semalam,” ujarnya.

Agus menuturkan, seorang kerabat juga pernah melakukan semedi di kompleks pemakaman Jaka Tingkir. Berbeda dengan dirinya yang hanya bertahan semalam, si kerabat ini sanggup hingga sebelas malam berturut-turut. “Orang yang nglakoni di makam Jaka Tingkir biasanya memang didorong motivasi yang bermacam-macam,” katanya.

Agus mengaku tidak mau mengharapkan apa pun dari lakunya di makam Jaka Tingkir, karena takut melawan hukum agamanya, Islam. “Kita hanya boleh berharap dari Allah, tidak dari makam atau lainnya. Apa yang saya lakukan hanya sebatas untuk nglakoni, sekaligus berdoa bagi leluhur,” ujarnya.

Sementara juru kunci makam Jaka Tingkir, Jono (56), mengungkapkan, selain sekadar untuk nyekar (menaburkan kembang), orang-orang yang datang ke makam Jaka Tingkir ada pula yang berharap mendapat petunjuk mengenai masa depannya. Meski demikian, selama belasan tahun menjaga makam itu, ia merasa tidak pernah menemui hal-hal yang bersifat gaib.

Meski jumlahnya semakin sedikit, laku tapa prihatin sangat erat dalam kehidupan orang Jawa, terutama mereka yang sungguh-sungguh menghayati kejawen. Bentuk laku tapa, seperti puasa, menyepi, kungkum (berendam di mata air) saat malam hari, diyakini dapat menghantarkan orang untuk aneges karsa atau mengetahui kehendak Tuhan atas dirinya.

Laku aneges karsa ini sebenarnya sangat dibutuhkan manusia. Kesibukan, kebisingan, gelora nafsu dalam diri, membuat manusia kerap gagal memahami kehendak Yang Kuasa atas dirinya. Laku aneges karsa hanya bisa dicapai lewat hening sekaligus kerendahan hati.

Menurut sang juru kunci, sikap Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir saat kalah dalam perang melawan Mataram (Sutawijaya), pantas diteladani. Terutama adalah keputusan Sultan Hadiwijaya yang membatalkan niatnya untuk membalas dendam atas kekalahannya dari Sutawijaya memperlihatkan sikap pasrah pada kehendak Yang Kuasa.

“Ia mau rendah hati dan menyingkirkan nafsu kekuasaannya. Ia bersedia menjalani apa yang menjadi tugas dalam hidupnya, yakni mengajar rakyat dan mengembangkan tradisi baru di tengah masyarakat”

Baca juga : Ken Dedes, Ibu Raja-raja di Tanah Jawa

Tinggalkan komentar