Sangiran dan Jejak Peradaban Purba Dunia

Seandainya Von Koenigswald pada tahun 1934 tidak menginjakkan kakinya di Sangiran, bisa jadi situs manusia purba di wilayah Sragen-Karanganyar itu tidak akan pernah dikenal. Sebab, sejak kunjungan paleontolog dan geolog berkebangsaan Jerman-Belanda itulah nama Sangiran muncul dalam ranah ilmu pengetahuan sebagai situs penemuan alat batu.

Jauh sebelum Koenigswald datang, Eugene Dubois, penemu fosil manusia purba Trinil, Madiun, sebenarnya pernah mendatangi Sangiran pada 1893. Sayang, ketika itu Dubois tak tertarik dengan  Sangiran yang  kering dan tandus.

Dokter muda itu pun mengalihkan penelitiannya ke Trinil, hingga akhirnya Dubois menemukan fosil tulang paha dan tengkorak manusia purba di desa pinggiran Bengawan Solo. Temuan ini kemudian dikenal dengan nama Pithecanthropus Erectus atau Manusia Berjalan Tegak.

Kembali ke Sangiran. Kawasan ini berada sekitar 17 kilometer arah utara Kota Solo, atau arah menuju Purwodadi. Luas kawasan ini sekitar 56 km2, mencakup Kecamatan Kalijambe, Gemolong, dan Plupuh di Sragen, serta Kecamatan Gondangrejo di Karanganyar.

Penemuan Von Koenigswald

Situs Sangiran berawal ketika Von Koenigswald menemukan peralatan batu purba tahun 1934. Penemuan tersebut kemudian disusul temuan-temuan berikutnya yang seperti tak berkesudahan. Dua tahun setelah temuan itu misalnya,  warga setempat menemukan rahang bawah fosil manusia purba di lapisan Pucangan Atas di Sangiran, menyusul fosil-fosil lain pada tahun-tahun berikutnya.

Kini penemuan fosil di situs Sangiran telah mencapai sekitar 60 individu manusia purba, tersebar pada lahan luas menempati wilayah Kabupaten Sragen di utara dan Kabupaten Karanganyar di selatan. Jumlah keseluruhan telah melebihi 50 persen dari seluruh temuan fosil manusia purba di dunia.

Secara stratigrafis –sejarah, komposisi, dan lapisan tanah, Sangiran merupakan situs manusia purba berdiri tegak terlengkap di Asia. Satu fase kehidupan yang berurutan tanpa putus sejak dua juta tahun hingga 200 ribu tahun lalu (Kala Pliosen Akhir hingga akhir Pleistosen Tengah).

Situs serupa hanya ada dalam  hitungan jari di dunia. Di Asia terbatas di Cina, India, dan Indonesia. Di Eropa ditemukan di Jerman, Perancis, Rusia, dan baru-baru ini di Inggris. Benua Afrika lebih menonjol dengan kekunaan yang lebih tua, antara lain di Ethiopia, Kenya, dan Afrika Selatan. Indonesia bukan hanya memiliki Sangiran, tetapi juga situs lain di sepanjang aliran Bengawan Solo, seperti Sambungmacan, Trinil, Ngawi dan Ngandong. Selebihnya dijumpai di Kedungbrubus, Patiayam, dan Perning.

Situs Sangiran pada akhirnya menjadi lahan penelitian tak berkesudahan. Lebih dari 70 tahun sejak penemuan fosil pertamanya, situs ini seperti menawarkan misteri kehidupan purba yang tiada ujung.

Jejak Homo Erectus di Sangiran

Sangiran dan Jejak Peradaban Purba Dunia
Ilustrasi kehidupan manusia purba/tribunnews

Berdasarkan bukti-bukti per tanggalan, konon manusia purba Homo Erectus telah mendiami Sangiran  sejak awal zaman Plestosen hingga akhir Plestosen Tengah (sekitar 1,8 juta tahun lalu hingga ratusan ribu tahun lalu).

Menurut teori out of Africa, manusia purba Jawa ini berasal dari Afrika. Sejak 2,5 juta tahun lalu, mereka meninggalkan Afrika, menyebar ke berbagai benua (daratan). Sebagian dari mereka menuju Eropa,  ada pula yang ke China dan Indonesia setelah melewati India. Mereka diperkirakan memasuki Indonesia melalui jembatan darat yang terbentuk ketika air laut surut pada periode glasial.

Amat mengesankan, mereka hidup turun-temurun selama berjuta-juta tahun di Sangiran. Ketersediaan berbagai sumber daya lingkungan (hewan, tumbuhan) menjadi jawabnya. Asumsi ini tidak meragukan jika melihat keberadaan fosil-fosil hewan yang tersebar pada lapisan-lapisan tanah Sangiran.

Manusia purba ini diperkirakan mendiami Sangiran setelah air laut surut atau paling tidak saat Sangiran telah menjadi rawa dan sebagian daratan. Fosil kura-kura, herbivora, gajah jenis stegedon, babi, dan monyet yang ditemukan di lapisan Pucangan-terbentuk sekitar 1,7 juta tahun lalu-menjadi bahan makanan pokok, selain biota rawa dan tumbuhan yang ada di sekitarnya.

Lingkungan alam Sangiran kian mendukung kehidupan manusia purba manakala seluruh wilayah depresi Solo telah menjadi daratan sejak 800.000 tahun lalu. Berbagai jenis tanaman dan hewan diperkirakan tersedia saat itu, terbukti dari penemuan-penemuan dalam lapisan Kabuh.

Pada periode ini jenis karnivora dan antilope cukup menonjol, selain hewan lain yang sudah ada pada periode sebelumnya. Penangkapan hewan dilakukan lewat perburuan dengan menggunakan peralatan kayu dan batu. Jika alat-alat batu masih bertahan hingga kini, alat-alat kayu sudah sudah hancur termakan waktu.

Peralatan Batu

Sebuah lembaran baru Sangiran terisi melalui penemuan-penemuan alat batu dalam penelitian dasawarsa terakhir. Jika temuan Koenigswald dan lainnya masih diragukan sebagai peralatan Homo erectus, temuan tim Indonesia-Prancis di Ngebung dan Balai Arkeologi Yogyakarta-Pusat Penelitian Arkeologi di Dayu dan Ngledok, telah menghapuskan keraguan itu. Alat-alat serpih, kapak pembelah, kapak perimbas, bola batu, batu dipecah, dan batu pukul bersama fosil-fosil hewan yang ditemukan dalam lapisan Kabuh, di tepi endapan sungai purba di Ngebung dan alat-alat serpih dalam lapisan grenzbank di Dayu menjelaskan peralatan itu milik Homo erectus yang hidup sekitar 900.000-500.000 tahun lalu. Berkat penemuan ini terbukti, manusia purba Sangiran, seperti manusia purba lain di dunia, telah menggunakan alat-alat batu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Menurut penelitian Sangiran awalnya adalah sebuah bukit yang dikenal dengan sebutan ”Kubah Sangiran”. Kubah itu kemudian tererosi pada bagian puncaknya sehingga membentuk sebuah depresi. Pada depresi itulah, tersingkap lapisan-lapisan tanah secara alamiah. Dari sinilah para ahli mendapatkan informasi yang sangat lengkap tentang kehidupan masa lampau

Sejak tahun 1977 Pemerintah telah menetapkan Sangiran sebagai kawasan cagar budaya melalui surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 070/0/1977, tertanggal 5 Maret 1977. Komite World Heritage Unesco juga menetapkan Sangiran sebagai The Early Man Site, dengan nomor penetapan World Heritage list C 593.

Museum Sangiran

Sangiran dan Jejak Peradaban Purba Dunia
Salah satu koleksi putbakala di Museum Sangiran/surakarta.go.id

Di sini juga terdapat sebuah Museum Purbakala Sangiran. Museum ini memiliki kurang lebih 13.086 fosil tetapi yang dipamerkan hanya 2.931, sisanya sebanyak 10.875 lagi masih disimpan di gudang.

Sangiran terkenal sebagai situs purbakala yang paling lengkap di seluruh dunia. Di wilayah ini ditemukan sedikitnya 80 individu manusia purba. Jumlah ini diperkirakan mencapai 50 persen jenis habitat manusia purba di dunia saat itu.

Koleksi akan selalu bertambah, karena setiap musim hujan kawasan Sangiran selalu mengalami erosi yang sering menyingkapkan temuan fosil dari dalam tanah.

Koleksi yang ada di Museum Sangiran antara lain fosil manusia, fosil hewan, fosil tumbuhan, batu-batuan, sedimen tanah, peralatan batu yang dulu pernah dibuat, dan digunakan manusia purba yang pernah tinggal di Sangiran.

Koleksi-koleksi tersebut sebagian besar masih disimpan di gudang dan sebagian lagi dipajang di ruang pameran. Ruang pameran saat ini ada tiga ruang. Ruang utama berisi “vitrin” ditambah diorama, dan ruang pameran.

Data di museum itu sebagian besar pengunjung yang datang adalah wisatawan dari manca negara terutama dari Jepang, Jerman, Belanda, Singapura, Malaysia, Brunei, Inggris, Amerika Serikat (AS), Kanada, dan Filipina. Jumlah wisatawan yang datang ke lokasi itu hingga kini mendekati angka 100.000. Pada tahun 2006 pendapatan dari penjualan karcis mencapai Rp 60,7 juta. Angka ini cukup menggembirakan untuk mengukur animo masyarakat terhadap museum ini.

Surga bagi Arkeolog

Sangiran bukan hanya surga bagi para arkeologi dunia, melainkan juga para wisatawan. Utamanya wisatawan yang datang ke wilayah ini adalah ingin menyaksikan lokasi purba tempat tinggal manusia zaman dulu.

Dahulunya wilayah Sangiran adalah dasar laut dan rawa-rawa. Dasar laut dan rawa-rawa itu naik ke permukaan karena proses geologis. Wilayah itu pun mengalami erosi sehingga sebagian puncaknya terkikis. Di antara kikisan inilah yang menyimpan fosil-fosil dan artefak budaya manusia purba.

Masyarakat di wilayah itu sangat mafhum dengan fosil-fosil hewan purba seperti stegodon dan elephas sp (gajah purba), bovidae (kerbau sapi) dan sebagainya. Bahkan di antara lapisan-lapisan itu juga ditemukan kerang dan hewan laut purba.

Sebagian dari hewan-hewan kerang itu dijadikan cendera mata untuk para wisa- tawan yang datang. Kepala Balai pelestarian Situs Sangiran, Harry Widianto menyebutkan hewan kerang dan laut lainnya memang masih diperbolehkan diperjualbelikan, karena jumlahnya masih sangat banyak di lokasi situs Sangiran. Hanya benda-benda artefak hasil budaya manusia dan hewan besar yang harus dilaporkan ke pihaknya jika masyarakat menemukan.

“Ini karena sangat banyaknya fosil yang ada di Sangiran sehingga untuk koleksi hewan laut yang kecil kami sudah kelebihan koleksi. Yang kami fokuskan adalah pada artefak dan hewan-hewan besar dan terutama pencarian fosil manusia purba,” ujarnya.

Lokasi Museum Sangiran

Bangunan museum Sangiran terletak diatas gundukan tanah, untuk menuju kesana pengunjung harus menaiki jalur trap yang diatur rapi. Museum itu terdiri dari beberapa ruangan yang nampaknya sudah penuh dengan temuan fosil. Terdapat juga ruang laboratorium, gudang dan kantor.

Perluasan gedung sedang berlangsung dan tanah disitu telah diperiksa bukan lokasi peninggalan fosil purba. Serombongan pengunjung biasanya dipandu oleh seorang petugas museum yang menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan semua benda temuan purbakala yang berada di setiap ruangan.

Pemandu ini layaknya seorang interpreter di Taman Nasional. Gunawan, petugas yang memandu rombongan kami adalah seorang biolog, lulusanUNS. Memang petugas museum Sangiran ini tuturnya terdiri dari banyak disiplin ilmu. Ada ahli purbakala, atau arkaelog, ahli biologi, geologi, antropologi, dan mungkin juga ahli-ahli lain.

Mereka bergiliran menjadi pemandu dengan koordinasi yang baik. Dalam ruangan laboratorium pengunjung diberi penjelasan tentang cara membersihkan setiap temuan fosil. Peralatan pembersih terdiri dari kuas berbagai ukuran, tatah, pisau, gunting, bahkan gergaji mesin elektronik.

Cairan berbagai zat kimia juga dipergunakan. Bahkan pengunjung diberi kesempatan mencoba-coba ikut membersihkan fosil yang masih terbungkus batuan endapan. Setelah temuan fosil bersih baru akan diidentifikasi jenis, sifat, dan struktur untuk diketahui macam fosil tersebut. Bahkan bila terpotong-potong saat ditemukan akan disambung dengan lem perekat.

Gading Gajah Stegon

Sangiran dan Jejak Peradaban Purba Dunia
Museum Sangiran menjadi wisata edukasi tentang kepurbaan dunia/surakarta.goi.id

Menarik sekali adalah cerita ditemukanya gading gajah stegodon sepanjang lima meter. Waktu diketemukan oleh tim purbakala masih terpisah pisah. Setelah bersih, bagian bagian yang terpisah disambung. Kemudian diidentifikasi, dan ternyata adalah fosil gading gajah purba.

Demikian cerita salah satu anggauta tim diantaranya bernama Suwarno penduduk setempat. Sekarang pak Suwarno berjualan cindera mata dan memiliki souvenir shop. Banyak rumah penduduk dirubah bentuknya menjadi souvenir shop. Mereka menjual tiruan peralatan manusia purba, ukiran dari aneka rupa jenis batu, manik manik, fosil kayu (petrified wood) dsb.

Lain lagi cerita diketemukanya manusia purba yang termasuk Homo erectus Tipik. Fosil manusia purba ini diketemukan di situs Sangiran 17 oleh penduduk setempat bernama Towikromo pada tahun 1969, di desa Dayu. Fosil Sangiran 17 yang berusia 500.000 tahun merupakan fosil terbaik yang pernah diketemukan di Asia, karena yang paling lengkap dengan bagian mukanya.

Museum Edukasi

Semua temuan fosil atau benda purbakala harus diserahkan kepada petugas museum atau kepada Dinas purbakala setempat.Kabarnya penduduk sudah mentaati peraturan tersebut. Namun masih diperlukan adanya pengawasan oleh semua instansi terkait, untuk mencegah perburuan fosil dan dijual sampai ke manca negara.

Dengan jarak kurang lebih 5 km sebelah barat bangunan museum terdapat bangunan gedung berlantai tiga yang berfungsi sebagai menara pandang. Dari lantai atas dapat dilihat seputar cekungan Sangiran. Menara pandang ini dilengkapi juga dengan sebuah teropong jauh. Dari sini dapat dilihat alur lapisan lapisan berbagai umur yang banyak mengandung fosil purbakala.

Di lantai bawah gedung ini ada disediakan ruangan audio visual yang berkapasitas 60 tempat duduk. Audio visual mengenai proses evolusi manusia (animasi) dapat ditayangkan atas permintaan dengan bayaran Rp. 40.000,- Waktu tayangan ke layar kurang lebih 25 menit. Proses evolusi manusia digambarkan mengikuti kaidah survival of the fittest menurut teori evolusi Charles Darwin.

Ciri utama yang membedakan kemajuan evolusi barangkali salah satunya adalah besarnya volume tengkorak. Manusia modern volume tengkorak diatas 1400 cc, sedang yang primitif dibawah 400 cc. Homo erectus berada pada kisaran 800 – 1300 cc. Sementara kera besar (simpase, gorila, orang utan) kurang dari 350 cc.(*)

Tinggalkan komentar