Diponegoro dan Perang Paling Melelahkan

Diponegoro dan Perang Paling Melelahkan
Lukisan Perang Diponegoto/Wikipedia

Perang Diponegoro 1825-1830. Ramalan itu datang dari Hamengku Buwono (HB) I, Raja Kasultanan Yogyakarta, pada 1785.  Ia mengamati beberapa saat bayi merah yang disodorkan oleh permaisuri Raden Ayu Mangkorowati. Bayi itu adalah Diponegoro alias Raden Mas Ontowiryo.

Katanya, kepada sang permaisuri, pada masanya nanti bayi ini akan membuat Belanda kalang kabut. Anak ini akan membuat kerusakan hebat Belanda, lebih hebat dari aku. Rawatlah anak ini.

Lebih dai 40 tahun kemudian, Diponegoro memimpin perang terbesar melawan Belanda di tanah Jawa. Berkobar hampir di seluruh wilayah Jawa Tengah, dan sebagian Jawa Timur. Itulah perang hebat yang kedudian dikenal dengan sebagai Perang Jawa (1825-1830).

Sebuah perang yang, menurut Pemerintah Belanda, membuatnya bangkrut. Tercatat, di kedu apihak  kehilangan 200.000 orang  yang tewas selama perang. Belanda kehilangan 8000 prajurit yang dibawanya dari Eropa, dan 7000 prajurit yang direkrut dari wilayah Nusantara. Dari sisi materi, Belanda mengalami kerugian sebesar 20 juta gulden.

Belanda buannya tidak mengantisipasi terjadinya perang besar itu.  Jauh sebelum 1825, Gubernur Jenderal Belanda di Batavia saat itu,Van der Capellen, mengirimmkan seluruh pasukan Belanda di Jawa di Yogyakarta, dan Surakarta.

Perang Diponegoro mendapat dukungan dari banyak kalangan, mulai kerabat, bangsawan, tokoh masyarakat, ulama, santri, petani, pedagang, dan rakyat jelata. Beberapa tokoh muncul bahu-membahu mengobarkan perang, seperti Pangeran Mangkubumi yang merupakan pamannya, dan Ali Basyah Abdul Mustofa Prawirodirjo alias Sentot Prawirodirjo.

Memindahkan Markas

Pemuda belasan tahun itu bahkan dipercaya memimpin pasukan berkuda berjumlah 400 orang. Sentot juga menjadi pemimpin bagi semua pemimpin kesatuan-kesatuan perang. Beberapa tokoh lainnya adalah Tumenggung Danukusumo, serta dua putera Diponegoro, Pangeran Diponegoro Anom dan Ki Sodewo yang memimpin 1.000 prajurit berkuda, Satuan Pinilih. Berikutnya dukungan juga datang dari Kiai Mojo dan Kiai Kuarun.

Ketika Belanda menguasai Selarong, atas usulan Kiai Mojo, Diponegoro memindahkan markas perlawanannya ke Dusun Sambiroto, Pengasih, Utara Kota Wates, Ibukota Kab Kulonprogo sekarang. Di markasnya yang baru itulah Sang Pangeran dilantik oleh Kiai Mojo menjadi sultan bergelar Sultan Abdulhamid Herucokro Amirulmukminin Sayidin Panotogomo Kalifah Rasulallah Ing Tanah Jawi pada 1826.

Alasannya, empat raja Jawa,  Raja Surakarta Pakubuwono VI, Saja Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono V,  Mangkunegoro III, dan Paku Alam I dianggap tidak bisa berbuat banyak terhadap tekanan Belanda.

Sejak itu, markas komando perang  terus berpindah. Tercatat seteah Dekso, markas dipindah ke Plered –bekas ibu kota Kerajaan Mataram, kemudian Gawok di wilayah Surakarta. Dalam serbuan Belanda ke Gawok, Ontowiryo sempat terluka parah sehingga harus bersembunyi di lereng Merapi.

Tragedi Tegalrejo

 

Diponegoro dan Perang Paling Melelahkan
Lukisan Perang Jawa/Wikipedia

Perang Diponegoro atau Perang Jawa terjadi karena campur tangan Belanda dalam urusan pemerintahan kasultanan, termasuk pengangkatan raja dan patih. Puncaknya adalah pemasangan patok di tanah-tanah miliknya unutk pembangunan jalan raya pada Juli 1825.

Bukan hanya karena tanah-tanah itu sebagi lahan pertanian, sumber pangan dan penghasilan, tapi juga karena para leluhurnya dimakamkan di sana. Terlebih lagi, pemasangan patok itu tanpa pemberitahuan sebelumnya.

Patok-patok yang dipasang Residen Yogyakarta Anthonie Henrik Smissaert –tentu saja atas perintah Gubernur Jenderal Van der Capellen, itulah yang membuat hubungan antara Pangeran Diponegoro, Kasultanan Yogyakarta, dan Belanda semakin panas.

Sejarawan Inggris Peter Carey dalam buku Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (hlm. 704) menulis, bahwa pembangunan jalan raya yang tanpa pemberitahuan itu sebagai penyebab perang.

Rangkaian Kerusuhan

Sebelumnya, berbagai konflik internal memang sudah mewarnai intern keraton, terutama sejak Danureja IV menjadi Patih. Sang Patih sengaja tidak memberitahu soal rencana pembuatan jalan karena Ontowiryo selalu menghalangi sepak terjangnya.

Kerusuhan-kerusuhan kecil antara petani penggarap sawah yang merupakan pengikut setianya, dengan para pemasang patok punkerap terjadi. Tidak hanya petani, penduduk setempat pun berduyun-duyun ikut membantu. Lama kelamaan, pendukung Sang Pangeran semakin banyak.

“Mereka datang untuk membela Sang Pangeran atas tindakan sewenang-wenang Belanda dan Danureja. Mereka kemudian mulai membentuk pertahanan diri, mendirikan posko di Tegalrejo. Itulah bibit Perang Jawa,” kata Carey.

Pengikutnya pun mulai menumpuk di Tegalrejo. Kondisi ini mengakibatkan kolonial mulai mengkhawatirkan bakal terjadinya kerusuhan yang lebih hebat.

Masih pada 1825, Smissaert kemudian memerintahkan Pangeran Tegalrejo itu untuk menghadap ke kantor residen. Namun, Sang Panegran sudah memutuskan untuk tidak berinding dengan Belanda. Pada 20 Juli 1825 terjadilah kontak senjata yang pertama antara pasukan Diponegoro dengan tentara kolonial di Tegalrejo.

Pasukan Ontowiryo kalah jumah. Belanda mengepung dan kemudian membakar rumah Sang Pangeran.  Namun, Ontowiryo dan sebagian besar pengikutnya berhasil lolos. Selarong akhirnya menjadi markas komando perlawanan.

“Di tempat itulah Ontowiryo mengucapkan ikrar pemberontakan terhadap Belanda,” tulis Carey yang menghabiskan empat puluh tahun untuk meneliti Perang Jawa.

Kabar perang yang dikobarkan oleh Sang Pangeran merembet ke keraton. Mereka yang kesal dengan campur tangan kolonial ke urusan intern istana segera menyusul ke Selarong, bergabung dengan Sang Pangeran.

Diponegoro Menuju Perang Jawa

Diponegoro dan Perang Paling Melelahkan
Pangeran Diponegoro/Wikipedia

Insiden Tegalreja membuat Gubernur Van der Cepellen marah. Dia memerintahkan Jenderal De Kock untuk menumpas pemberontakan Diponegoro. Pada 30 Juli 1825, De Kock meminta bantuan Pakubuwana VI untuk menghentikan pemberontakan.

Belanda mengirimkan pasukan bantuan dari Semarang. Namun, pasukan yang dipimpin kapten Keemsius itu disergap oleh pasukan Diponegoro. Sebanyak 200 prajurit Belanda tterbunuh, dan uang 50.000 gulden yang sedianya akan diberikan kepada residen Yogyakarta dirampas.

Belanda semaki sering mngirim pasukan, tapi selalu dipathkan oleh Diopnegoro dan pendukungnya. Kemenangan demi kemenangan Diponegoro menyulut perlawanan terhadap pemerintah kolonial di Jawa.

Di Kedu, pasukan Bulkiya yang dipimpin oleh Sentot dan Haji Abdulkabir memukul mundur pasukan Belanda yang dibantu Bupati Magelang Tumenggung Hadiningrat.  Sang Bupati bahkan terbunuh dalam pertempuran itu. Peristiwa yang sama juga terjadi di Menoreh. Bupati Menoreh, Ario Sumodilogo, yang membantu perlawanan Belanda ikut terbunuh.

Pasukan Belanda kemudian mengadakan serangan besar-besaran ke Selarong pada 2 Oktober 1825. Namun, Selarong sudah kosong.  Pangeran Diponegoro memindahkan markasnya ke Dekso. Sementara wanita,anak anak, dan orang tua diungsikan ke Suwela.

Selama tahun 1825 dan 1826 pasukan Diponegoro selalu memenangkan pertempuran melawan Belanda dan raja-raja yang bersekutu dengannya.  Dalam sebuah serbuan di Delanggu, Diponegoro berhasil membuat pasukan Beanda kocar-kacir. Mereka pun merampas berpuluh senapan dan dua belas meriam.

Pada tahun 1827 Jenderal de Kock menerapkan siasat Benteng Stelsel untuk mengimbangi siasat perang gerilya Pangeran Diponegoro.  Sebanyak 200 benteng dibangun Belanda untuk untuk menghadapi pasukan Diponegoro.

Sang Jenderal bahkan sampai mengeluarkan sayembara dengan menjanjikan hadiah 500 ringgit bagi pengikut Diponegoro yang bersedia menyerah. Hadiah 20.000 ringgit, gelar pangeran, sebidang tanah, dan gaji 10 ringgit per bulan juga diberikan bagia yang berhasil menangkap Diponegoro, hidup atau mati.(*)



Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*