Candi Sukuh merupakan salah satu candi Hindu yang berada di kaki lereng Gunung Lawu, tepatnya di Dukuh Berjo, Desa Sukuh, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Untuk menuju tempat ini pengunjung dapat menempuh perjalanan sekitar 20Km dari Kota Karanganyar atau sekitar 36 Km dari Kota Solo.
Keberadaan candi ini memang tergolong unik, berbeda dengan candi-candi Hindu lainnya di Pulau Jawa yang biasanya memiliki struktur bangunan ramping menjulang tinggi dengan ornamen yang rumit. Candi Sukuh justru memiliki bentuk lebih sederhana seperti piramida trapesium, hampir mirip dengan tiga situs peradaban Maya yakni Chichen Itza dan Chacchoben di Meksiko, serta Candi Tikal di Guatemala. Struktur Candi Sukuh juga mirip dengan bentuk piramida di Mesir.
Menurut arkeolog Belanda W.F. Stutterheim (tahun 1930) yang dilansir dari situs karanganyarkab.go.id, ada tiga alasan kenapa Candi Sukuh memiliki bentuk yang lebih sederhana. Pertama, kemungkinan pemahat candi Sukuh bukan seorang tukang batu melainkan tukang kayu dari desa dan bukan dari kalangan keraton, kedua candi dibuat dengan agak tergesa-gesa sehingga kurang rapi, atau ketiga bahwa keadaan politik pada waktu itu menjelang keruntuhan Kerajaan Majapahit karena didesak oleh pasukan Islam Demak, sehingga tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah.
Struktur bangunan Candi Sukuh merupakan perpaduan agama Hindu dengan budaya Megalitikum asli Nusantara, yaitu punden berundak. Hal inilah yang menyebabkan candi ini dikatakan telah menyalahi pola dari buku arsitektur Hindu Wastu Widya. Dalam buku tersebut menjelaskan bahwa candi harus berbentuk bujur sangkar dengan pusat ditengahnya, ditengah-tengah inilah tempat yang harusnya paling disucikan.
Tata letak Candi Sukuh ini memang memiliki tiga struktur teras yang bertingkat dan meninggi, bangunan suci terletak paling ujung dan paling tinggi, tidak berada ditengah seperti candi-candi lainnya.
Memasuki area Candi, pengunjung akan disambut dengan Gapura beratap yang berbentuk trapesium mirip pylon (gapura pintu masuk ke tempat suci) di Mesir. Dibagian atas gapura terdapat relief Kala (kepala raksasa) yang menyimbolkan sebagai pelindung tempat suci.
Gapura ini merupakan pintu masuk utama menuju teras pertama area candi. Perlu diketahui Candi Sukuh memiliki tiga susunan trap (teras), di masing-masing teras, semakin masuk ke area candi struktur tanah semakin tinggi.
Pembuatan gapura pintu masuk Candi Sukuh diperkirakan selesai dibangun pada tahun 1437 M, atau pada tahun 1359 saka. Angka tahun ini bisa dibaca melalui relief sisi utara gapura yang bergambar seorang manusia yang ditelan raksasa. Bagi orang Jawa gambar tersebut merupakan sengkalan memet yang bisa dibaca “Gapura buta mangan wong“ (gapura raksasa memakan manusia), artinya Gapura= 9, buta = 5, mangan = 3, dan wong = 1. Jika dibaca dari belakang sengkalan tersebut menunjukkan angka tahun 1359 Saka.
Sengkalan memet yang menunjukkan angka tahun 1359 Saka juga terdapat di dinding gapura sebelah selatan. Relief bergambar sosok raksasa yang sedang menggigit ekor ular ini berbunyi gapura buta anahut buntut (gapura raksasa menggigit ekor).
Nuansa erotis sekaligus mistis Candi Sukuh bisa ditemukan langsung di gapura pintu masuk ini. Dibagian lantai dasar gapura terdapat relief berbentuk phallus (penis) yang menempel pada vagina. Relief ini dibingkai dengan tali yang melingkar di sekelilingnya.
Dalam buku Candi Sukuh dan Kidung Sudamala Ki Padmasuminto, relief “seronok” yang berada di lantai gapura ini juga merupakan sengkalan memet yang berbunyi “Wiwara Wiyasa Anahut Jalu “. Wiwara artinya goa suci = 9, Wiyasa diartikan daerah yang terkena “suwuk” = 5, Anahut artinya mencaplok = 3, dan Jalu berarti laki-laki = 1. Jadi bisa di temui angka tahun 1359 Saka.
Menuju teras kedua kompleks Candi Sukuh terdapat gapura tanpa atap yang kondisinya telah rusak. Disini bisa ditemui tiga bentuk relief yang diperkirakan merupakan gambaran peristiwa saat candi dibangun. Ketiga relief tersebut menggambarkan seorang pria dengan pajangan berbagai senjata di depannya, kemudian relief gajah pendeta yang menggigit ekor, dan sosok perempuan Pande Besi (pengrajin peralatan yang terbuat dari besi),
Relief Ganesha yang berada ditengah dipercaya merupakan sengkalan memet yang berbunyi “gajah wiku anahut buntut” (Gajah pendeta menggigit ekor). Relief ini dapat diartikan sebagai tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi. Angka tahun ini memiliki selisih hampir duapuluh tahun dengan tahun dibangunnya gapura pertama Candi Sukuh.
Setelah melewati teras ke-dua, pengunjung bisa masuk menuju teras ke-tiga melalui batu berundak yang lebih tinggi dari pintu gapura sebelumnya. Di tempat ini memiliki area yang cukup luas dengan beberapa relief di sebelah kiri dan beberapa patung di sebelah kanan, candi induk Sukuh juga berada di teras ke-tiga ini.
Bangunan utama Candi Sukuh
Candi induk berbentuk segitiga yang terpotong, memiliki luas lantai dasar 15 m2 dan tinggi 6 m, dengan lubang pintu yang sempit dan curam ditenghanya yang difungsikan sebagai tangga menuju puncak atau atap candi. Lubang tengah berupa tangga tersebut diyakini juga merupakan bentuk organ intim wanita.
Ada sebuah dugaan bahwa Candi Sukuh yang bisa dilihat saat ini hanya merupakan batur atau kaki candi, sedangkan bangunan candi utama kemungkinan terbuat dari kayu. Dugaan tersebut didasarkan pada adanya beberapa umpak (kaki tiang bangunan) batu di pelataran atap.
Di tengah pelataran atap Candi Sukuh dulu ditemukan sebuah Phallus/Lingga batu yang berukuran tinggi sekitar 2m. Lingga tersebut memiliki bentuk menyerupai alat vital laki-laki yang dikelilingi empat bola di bagian ujung atasnya. Pada batang dan pangkal Lingga tersebut terdapat Candra Sengkala yang berbunyi Batur Karungu Krama Purus = 1362 Saka (1440 Masehi). Demi keamanan, Lingga tersebut kini disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Penemuan menarik juga terjadi di tahun 2012 silam, saat Candi Sukuh dipugar. Dua buah gerabah ditemukan di dekat Gapuro Pangruwatan di kompleks Candi Sukuh. Benda-benda bersejarah tersebut diduga peninggalan abad ke-15 pada masa dibangunnya candi Sukuh.
Benda-benda yang berada dalam gerabah tersebut diantaranya berupa Lingga berbahan kaca berukir yang berdiri diatas Yoni yang terbuat dari perunggu, perhiasan dan manik-manik. Di dalam Yoni perunggu tersebut terdapat air yang tidak mengering meski sudah tersimpan berabad-abad lamanya. Apakah air ini yang sering disebut-sebut sebagai “tirta amerta” (air kehidupan)? Mungkin saja.
Erotisme dan Spiritualitas di Candi Sukuh
Melihat berbagai simbol ataupun tanda yang ada di Candi Sukuh, memang tidak sedikit orang yang menganggap bahwa candi ini sebagai candi “rusuh” (tabu/seronok). Hal ini dilihat dari adanya simbol-simbol “cabul” seperti; relief lingga-yoni yang terletak di pintu gerbang utama, beberapa relief candi yang menunjukkan alat vital secara fulgar, dan bentuk lubang pintu candi induk yang ditafsirkan sebagai alat kelamin wanita.
Bukan hanya itu saja, hal “rusuh” juga terlihat dari phallus/lingga yang tersimpan di Galeri Nasional, dan temuan terakhir lingga-yoni berbahan kaca-perunggu yang kini disimpan di Kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah (Jateng), di Prambanan, Klaten.
Jika dlihat dari wujud fisik, memang hampir semua atribut yang ada di Candi Sukuh sangat terlihat aneh dan fulgar, bahkan beberapa orang juga ada yang meragukan tempat ini sebagai tempat suci. Apalagi jika dilihat dari struktur bangunannya yang tidak mencerminkan sebagimana candi-candi lain yang menganut paham Triloka (Bhur, Bwah, Swah = kaki, tubuh, dan atap candi).
“Jangan melihat buku dari sampulnya”, mungkin inilah gambaran yang tepat atas keberadaan Candi Sukuh. Semua hal yang tampak sering kali bukanlah apa-apa jika dibanding dengan isi didalamnya. Semua simbol yang ada di Candi Sukuh bisa saja sebuah bahasa yang perlu diterjemahkan lagi secara bijaksana. Mengingat orang-orang jaman dahulu sering menggunakan bahasa pasemon (kiasan atau lambang) untuk menyampaikan sesuatu. (Baca juga : Pasemon Praja, Sindiran Rakyat untuk Para Raja)
Jika mengacu dari dugaan para ahli, Candi Sukuh dibangun untuk Ruwatan Murwakala, yaitu sebagai sarana pembebasan dan penyucian manusia atas dosa/kesalahannya yang berdampak pada kesialan dalam hidupnya. Dugaan tersebut didasarkan pada relief-relief yang memuat cerita pengruwatan, seperti cerita Sudamala, Garudheya, arca kura-kura dan relief lain di Candi Sukuh.
Selain itu, bukti bahwa Candi Sukuh merupakan tempat untuk upacara pengruwatan yakni adanya Relief Lingga-yoni di gapura pertama yang berfungsi sebagai “suwuk” juga berfungsi untuk “ngruwat” siapa saja yang memasuki candi. Begitu juga dengan Prasasti tahun 1379 Saka dipunggung sapi, kata “pawitra” berarti air suci (air pengruwatan).
Untuk mendapatkan gambaran lebih jelas tentang pengruwatan ini, ada baiknya jika kita mengulik sedikit tentang cerita yang ada pada relief-relief di Candi Sukuh. Diantaranya cerita tentang Garudeya, Sudhamala, Bima Bungkus, Bimaswarga, dan Nawaruci/bimasuci.
Bersambung…
Daftar bacaan :
- ney24.wordpress.com, (diakses tanggal 30 Juli 2016)
- Wikipedia.org, (diakses tanggal 30 Juli 2016)
- Karanganyarkab.go.id, (diakses tanggal 30 Juli 2016)