
Namanya Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Subandi. Gelar dari Kraton Kasunanan Sukakarta itu diberikan setelah lebih dari 20 tahun mutrani sejumlah keris kraton klasik sebagai salah satu upaya pelestarian. Mutrani adalah kata lain untuk dupliklasi atas keris-keris yang sudah ada pada zaman kerajaan. Sedangkan istilah keris klasik mengacu pada pembuatan keris berdasarkan pakemnya, antara lain luk (lekukan), dapur (Nagasasra, Sabuk Inten, Tilam Upih, Jalak Dhindhing, dan Kebo Lajer), pamor (Udan Mas, Kancingkulino, r Purnamandadari, Beras Wutah, dan Satriyo Pinayungan), serta tangguh (masa pembuatan keris) keris, misalnya tangguh Pajajaran, Majapahit, Demak, Mataram Yogyakarta, dan Surakarta.
TAHUN 2010 lalu, ia memperoleh penghargaan dari Sekretariat Keris Nasional Indonesia (SNKI) untuk dua kategori sekaligus. Kategori pertama diberikan atas kesetiaannya dalam pembuatan keris, sedangkan kategori kedua untuk keris-keris klasik garapannya yang dikenal halus.
Di kalangan penggemar dan kolektor keris, selama ini keris garapan Subandi dikenal halus, rapi, dan sesuai dengan pakem keris klasik. Di Solo, Jawa Tengah, sebenarnya banyak terdapat perajin keris andal. Hanya saja, tak banyak dari mereka yang memilih jalur pembuatan keris klasik.
“Sekarang banyak keris dapur modern dan kontemporer. Itu malah bagus karena akan memperkaya keragaman keris. Saya memilih garapan klasik karena hati saya memang di sana,” kata Subandi di rumahnya, kampung Banaran, Jaten, Karanganyar.
Belajar kepada Mpu Yoso Pangarso
Perkenalan Subandi dengan dunia perkerisan sebenarnya berawal dari ketidaksengajaan. Ketika itu sekitar tahun 1979, Subandi tengah mencari pekerjaan. Seorang seniman tari di Solo, Suprapto Suryosudharmo, membawanya bertemu dengan Ketua Akademi Seni Kerawitan Indonesia (ASKI) ketika itu, Gendon Humardani.
“Pak Gendon meminta saya untuk belajar semua hal tentang keris. Saya langsung menyatakan tidak sanggup, karena memang tidak tahu apa-apa tentang dunia perkerisan,” kenang Subandi.
Namun Gendon memberi jalan. Subandi muda diperkenakan dengan Mpu Yoso Pangarso, kakak dari mpu kondang Jeno Harumbrojo, di Yogyakarta. Subandi pun nyantrik (belajar membuat keris). Mpu Yoso dipilih karena pada periode tahun 1979 itu, Mpu Yoso menggegerkan dunia perkerisan dengan membuat karya baru.
Di besalen (tempat menempa keris) Mpu Yoso, akhirnya Subandi tidak hanya praktek dalam proses membuat keris, namun juga belajar pengetahuan tentang keris dari buku-buku, mendatangi berbagai diskusi antar penggemar keris, serta ngangsu kawruh (mencari ilmu) dengan cara bertanya langsung kepada para mpu.
“Saya menjadi ingin tahu banyak hal tentang keris. Pak Gendon yang mendorong saya dengan mengatakan dunia keris akan memberi saya penghidupan. Saya percaya, karena memang tidak melihat peluang lain,” kenang pria kelahiran kelahiran Solo, 13 Juni 1957.
Seusai nyantrik, Subandi langsung diterima menjadi pegawai di Akademi Seni Kerawitan Suralarta (sekarang ISI). Tiga tahun ia bekerja serabutan alias tanpa job, sebelum akhirnya ASKI membuka laboratorium praktek pembuatan keris. Subandi terlibat dari awal mulai tahap persiapan hingga laboratorium beroperasi.
“Sampai sekarang sudah 30 tahun lebih saya membuat keris,” ujar ayah tiga anak ini bangga.
Diminati Kolektor
Awalnya, Subandi memang hanya membuat keris untuk inventaris akademi. Sampai akhirnya, banyak kalangan yang menilai keris garapannya terlalu halus untuk ukuran akademik. Dalam sebuah pameran tosan aji (senjata pusaka, antara lain keris dan tombak) yang digelar ASKI, keris-keris garapannya banyak diminati para kolektor. Sejak itulah Subandi mulai membuat keris untuk kalangan luar kampus. Sampai saat ini, tidak kurang dari 600 bilah keris karyanya yang disimpan para kolektor asing dari berbagai negara, seperti Jerman, Perancis, Australia, Jepang, Amerika Serikat, Kanada, dan Malaysia.
“Kebetulan semua keris yang dibawa ke luar (negeri) itu bukan keris pesanan. Itu karya seni yang ketika membuatnya saya tidak dibatasi waktu,” ujar Subandi di pendapa rumahnya yang sejuk.
Meski dikenal sebagai pembuat keris andal, namun Subandi menolak tegas disebut sebagai mpu keris.
“Seorang mpu harus memiliki kemampuan spiritual yang tinggi. Ia juga harus bisa menjalani laku tapa (semedi) dan latihan kejawen (priharin cara Jawa). Saya belum seberapa. Saya hanya seorang pembuat keris,” ujar Subandi yang kini bekerja di Unit Pelayanan Teknis (UPT) Keris, Insitut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
Subandi menambahkan mpu keris hanya ada pada masa kerajaan. Sebab mpu merupakan gelar kehormatan bagi pembuat keris yang diberikan langsung oleh raja. Dengan kata lain, mpu hanya membuat keris untuk memenuhi pesanan rajanya.
“Sekarang bukan lagi zaman kerajaan, jadi saya bukan mpu. Saya hanya perajin keris biasa,” kata ayah tiga anak ini.
Meski menolak disebut sebagai mpu, namun dalam proses pembuatan keris, Subandi tetap melakukan ritual seperti yang dilakukan para mpu pada zaman dulu. Sejumlah ritual itu, kata dia, antara lain menjalankan puasa mutih (hanya makan nasi putih dan air putih) selama tiga hari, serta menyediakan uba rampe sesaji (perlengkapan sesaji) yang biasanya berupa nasi golong, nasi wuduk, tumpeng robyong (tumpeng lengkap), sepasang ayam hidup warna hitam, ingkung ayam, jenang merah-putih, dan jajan pasar. Setelah puasa selesai, biasanya pada malam sebelum proses pembuatan keris dimulai, Subandi melakukan ritual doa bersama dengan segala sesaji yang disiapkan.
“Kami meminta kepada Tuhan agar keris yang akan dibuat berguna bagi pemesannya. Itu saja. Jadi ritual laku itu bukan untuk mendatangkan kesaktian atau kekuatan gaib keris,” jelas Subandi.
Keris Sebagai Karya Seni
“Kesaktian” keris biasanya akan datang dengan sendirinya ketika tuan atau pemiliknya membutuhkan. Namun di luar masalah laku itu, Subandi menegaskan bahwa sebagai pembuat keris, maka titik beratnya adalah menyikapi keris sebagai karya seni, bukan sebagai barang dagangan semata.
“Kalau orientasinya hanya uang, saya bisa membuat 20 bilah keris dalam sebulan. Tapi kualitasnya ya apa adanya. Saya menyikapi keris sebagai karya seni, sehingga dalam sebulan paling banyak hanya dua bilah keris yang saya selesaikan,” kata pria yang menjadi pengampu bagi para mahasiswa yang nyantrik membuat keris.
Pada masa sekarang, keris memang bukan lagi monopoli kraton. Keris bahkan sudah diajarkan di perguruan tinggi seni. Proses pembuatan keris tidak lagi penuh kerahasiaan, karena ilmu membuat keris telah diurai keluar tembok keraton. Dalam 20 tahun terakhir, keris bahkan sudah masuk ke tembok kampus.
”Minat untuk mengambil kuliah pilihan keris meningkat, terutama setelah adanya pengakuan dari UNESCO,” tutur Subandi pernah belajar filosofi beberapa tahun di kelompok “Bawa Rasa” di Sasono Mulyo Keraton Kasunanan Surakarta ini.
Pengakuan yang dimaksud adalah bahwa keris merupakan karya agung warisan kemanusiaan dari Indonesia milik dunia (oral and intangible heritage of Indonesia) pada 25 Nopember 2005 lalu.
“Saya hanya bisa berharap semoga mereka (mahasiswa) yang nyantrik itu tekun, sehingga kelak akan muncul pembuat keris yang hebat seperti mpu-mpu besar masa lalu.(GNA)
Baca Juga : Sejarah Keris, Filosofi, dan Detil Bagiannya
Kalau boleh tau alamat pembuatan keris di solo, jawa tengah apa ya? Terimakasih.
Punya no hpnya bapk subandi