
Ritual Siraman menjadi salah satu acara pembersihan diri bagi calon kedua mempelai pengantin Jawa. Acara ini dilakukan setelah acara nyantri dan tantingan. Acara siraman biasa dilakukan kepada calon kedua mempelai sehari sebelum acara ijab kobul dilangsungkan. Adapun tujuan diselenggarakan acara siraman ini adalah untuk mensucikan jiwa dan raga menjelang hari pernikahan.
Siraman berasal dari kata siram atau mengguyur air yang dilakukan oleh anggota keluarga kepada kedua calon pengantin. Air yang digunakan untuk prosesi siraman ini biasanya ditaburi dengan kembang setaman, sedangkan airnya diambil dari tujuh mata air di daerah tersebut. Upacara siraman bisa dilakukan secara terpisah antara calon mempelai pria dan wanita, dan ada juga yang dilakukan secara bersamaan.
Dalam upacara siraman, calon mempelai wanita mendapatkan kesempatan pertama untuk menjalankan prosesi ini. Pada saat upacara berlangsung calon mempelai wanita diberi busana kain batik dengan motif Grompol yang dirangkapi kain mori putih sepanjang dua meter dengan posisi rambut diurai bebas.

Beberapa orang yang diberi tugas untuk menyiram mempelai wanita ini dimulai dari juru rias yang sekaligus memberi doa-doa di siraman pertamanya. Siraman berikutnya dilakukan oleh anggota keluarga yang dituakan, dan diakhiri oleh oleh kedua orang tuanya.
Jumlah penyiram pada setiap prosesi siraman seringkali dilakukan dalam bilangan ganjil, rata-rata berjumlah tujuh orang atau sembilan orang. Tujuh orang mempunyai makna pitulungan atau pertolongan (tujuh dalam bahasa jawa adalah pitu, diartikan pitulungan), jika dilakukan sembilan orang berarti membersihkan babahan hawa sanga (sembilan lubang yang ada pada tubuh manusia).
Di beberapa wilayah tertentu, pihak penyiram kedua calon mempelai hanya boleh dilakukan oleh kaum wanita, karena mereka menganggap para ibu inilah yang secara intens telah merawat anak-anaknya sejak dari dalam kandungan.
Setelah upacara siraman calon mempelai wanita selesai, proses selanjutnya adalah upacara pecah kendi yang dilakukan oleh calon mempelai wanita dan kedua orang tuanya secara bersamaan. Kendi akan dipecahkan di depan calon mempelai wanita sebagai simbol pecah pamor, yakni keluarnya pesona dari calon mempelai wanita. Dengan pecahnya kendi tersebut diharapkan calon mempelai wanita akan semakin cantik dan manglingi.
Selanjutnya calon mempelai wanita dibopong kedua orang tuanya menuju kamar pengantin untuk di-paes, yakni proses merias dengan menghilangkan rambut halus (bulu roma dibagian tengkuk dan dahi) agar tampak bersih dan dibentuk seperti hiasan rambut para bidadari.
Disela-sela merias mempelai wanita, siraman dilanjutkan untuk mempelai pria. Adapun tata cara dan urutannya sama ketika melakukan siraman pada calon mempelai wanita. Setelah siraman bagi kedua calon mempelai selesai dilakukan, ada satu ritual lagi yang dinamakan dodol dawet. Penjualnya adalah ibu calon pengantin wanita yang dipayungi oleh ayah calon pengantin wanita. Pembelinya yaitu para tamu yang hadir, yang menggunakan pecahan genting sebagai uang. Genting yang terbuat dari tanah itu bermakna bahwa kehidupan manusia berasal dari bumi. Selain itu prosesi ini melambangkan agar dalam upacara pernikahan yang akan dilangsungkan, diknjungi para tamu yang melimpah bagai cendol dawet yang laris terjual.
Sejak acara siraman selesai calon pengantin pria tida boleh bertemu dengan calon pengantin wanita, ia akan di arak ke tempat pemondokan yang telah dipersiapkan tidak jauh dari tempat kediaman pengantin putri. Sedangkan calon mempelai wanita dipingit dalam kamar. Di dalam kamar ia dilulur dan mendapat banyak petuah mengenai bagaimana menjadi seorang istri dan ibu dalam menjalani kehidupan dan mendampingi suami, serta mengatur rumah tangga. Pemingitan ini bagi orang jawa sering disebut Sengkeran, dilakukan hingga acara Midodareni yang akan dilangsungkan pada malam harinya.
Leave a Reply