Dalam pernikahan adat Jawa sering kali kita dengar istilah Asok Tukon. Ini prosesi dimana calon pengantin pria memberikan sejumlah uang kepada keluarga calon pengantin wanita.
Asok berarti membayar, tukon berarti pembelian. Meski secara harfiah dapat diartikan sebagai prosesi jual-beli, namun uang tersebut bukanlah manifestasi jual-beli.
Bukan pula nilai ekonomi perempuan yang akan dinikahi.
Asok tukon bagi banyak orang lebih dimaknai sebagai wujud penghormatan.
Ini adalah bnetuk wujud terima kasih yang disampaikan calon pengantin pria dalam bentuk materi/uang kepada calon mertua yang telah mengizinkan anak perempuannya dinikahi.
Biasanya uang ini diberikan untuk turut meringankan ongkos pernikahan yang diselenggarakan oleh pihak keluarga pengantin wanita.
Selain itu ada juga yang memaknai sebagai pengganti tanggung jawab pendidikan dan pemeliharaan gadis yang dikawinkan.
Jumlah uang juga tidak ada ukuran tertentu.
Bagi sebagian orang hanya mengikuti kebiasaan yang ada di lingkungan tempat tinggal calon pengantin wanita.
Besaran nilai uangpun juga masih tergantung dari kemampuan calon mempelai pria.
Pada dasarnya dalam adat pernikahan jawa, tidak pernah ada konsep orang tua menjual anak perempuannya.
Bukan Mas Kawin
Asok tukon bukanlah mas kawin, juga bukan paningset, ataupun srah-srahan.
Uang asok tukon diberikan kepada orang tua mempelai wanita, sedang mas kawin diberikan khusus kepada pengantin wanita sebagai bagian dari keresmian upacara pernikahan.
Uang ini biasanya dijadikan sebagai penanda penyerahan tanggung jawab dari keluarga mempelai wanita kepada mempelai pria.
Selain berupa uang tunai, biasanya juga terdapat uba rampe lainnya yaitu berupa Sanggan, Busana satu set untuk calon mempelai putri, Oleh-oleh yang berbentuk makanan yang terbuat dari beras ketan, dan selembar kain batik untuk nenek/kakek mempelai wanita.
Selembar kain batik yang diberikan pada nenek/kakek ini bagi orang jawa disebut sebagai pesing.
Idealnya asok tukon diberikan setelah lamaran dan sebelum acara srah-srahan, namun saat ini asok tukon sering diserahkan bersamaan dengan paningset, srah-srahan, ataupun di malam midodareni.
Hal ini dilakukan atas pertimbangan efisiensi waktu dan lebih praktis dengan tanpa mengurangi esensi asok tukon itu sendiri.