
Ronggojati Sugiyatno atau yang sering disapa dengan ‘Mbah No’, merupakan sosok pria jawa kelahiran Solo pada 28 Maret 1951 lalu. Ia tumbuh dan besar dalam keluarga yang kental dengan nuansa budaya jawa. Apalagi ayahnya menjadi salah satu pengrajin blangkon yang cukup tersohor dijamannya. Kakek buyut Ronggojati Sugiyatno yang bernama Kartodinomo merupakan pembuat blangkon untuk Raja Surakata Paku BuwonoX.
Semasa mudanya, Ronggojati Sugiyatno pernah belajar di Akademi Pelayaran dan melaut selama sekitar sebelas tahun (1971-1982). Setelah pulang dari petualangannya selama melanglang buana di laut, Ia melanjutkan perjalanan keliling Jawa mulai dari Jawa Barat hingga Jawa Timur. Ia mendatangi para maestro untuk mendalami batik, keris, sastra dan budaya Jawa lainnya. Para maestro yang sering ia datangi selama pngembaraanya antara lain Harjonagoro( Go Tek Swan), KPA Yosodipuro, dalang wayang kancil Ki Lejar Subroto, Ki Hadi Sugito, dan Mbah Marijan.
Menurut Ronggojati Sugiyatno, untuk mengenal budaya jawa lebih mendalam bisa dimulai dengan mengenal dan mengerti huruf jawa. Sebagaimana yang pernah ia lakukan, Ronggojati Sugiyatno juga banyak belajar tentang huruf Jawa hanacaraka secara khusus di majalah berbahasa Jawa Penjebar Semangat dan percetakan huruf Jawa, Tan Kun Sui.

“Dengan mengerti huruf Jawa, kita akan lebih banyak tahu lagi tentang Jawa,” kata dia.
Tak hanya menulis aksara Jawa, Ronggojati Sugiyatno juga melakukan tranliterisasi atau alih aksara ratusan naskah kuno. Alih aksara dari huruf Jawa hanacaraka ke bahasa latin sesuai dengan makna naskah. Salah satu naskah yang ia transliterisasi adalah “Serat Centhini”. Menurutnya Serat Centhini merupakan salah satu serat yang dianggap babon dalam kitab-kitab Jawa. Karya alih aksaranya ini kemudian menjadi salah satu acuan bagi Elizabeth D Inandiak, sastrawan dari Prancis, dalam menulis novel “Centhini”.
Selain “Serat Centhini”, karya alih aksara lainnya adalah berupa buku “Tosan Aji”, “Adat Istiadat Jawa”. Ada juga “200 Tahun Kepindahan Kraton Surakarta dari Kartasura”, dan “ Perjanjian Giyanti”. Bersama seorang indonesianis dan peneliti naskah-naskah kuna Jawa, Nancy Florida, Ronggojati Sugiyatno juga melakukan pendokumentasian. Diantaranya sejumlah naskah kuno ke bentuk mikrofilm, dan sekaligus melakukan tranliterisasi.
Mendirikan padepokan
Bersama beberapa pencinta budaya Jawa, Ronggojati Sugiyatno mendirikan “Padeprokan Gedong” untuk mendiskusikan sastra,, budaya, dan filsafat Jawa. Di padeprokan itulah beberapa tokoh nasional sering bertemu, antara lain Setyawan Djodi, Sawong Jabo, Gus Dur, Gus Mus, Eep Saifuloh, Rendra dan Paku Buwono XII.
“Kami namai padeprokan, bukan padepokan, karena semua yang datang ndeprok (duduk santai). Diskusi pun mengalir dalam suasana santai, tidak seperti seminar,,” kata Sugiyatno.
Di tengah kesibukannnya, pria yang juga seorang empu keris ini masih menyempatkan diri mengelola toko busana tradisional Jawa “Suratman” yang merupakan peninggalan keluarga. Menurut Sugiyatno, toko ini didirikan oleh kakek buyutnya tahun 1921 dengan nama “Hamung Seneng”. Namun sekitar tahun 1942 toko ini dirampas oleh tentara jepang. Baru tahun 1971 ayah Sugiyatno membangun kembali toko ini dan kemudian mengganti namanya dengan “Suratman”.
Di toko ini, Sugiyatno bukan sekadar berdagang, Namu ia juga memberikan pemahaman tentang bagiaman berbusana Jawa yang pantas kepada setiap konsumennya.
“Busana itu bukan sekadar penutup tubuh, tetapi juga papan linuwih kang gawe kaendahan (pakaian yang mencerminkan keindahan). Banyak orang tidak tahu menyerasikan pakaiannya. Mereka masih beranggapan jika pakaian mahal pasti bagus. Padahal berbusana itu sangat dekat dengan rasa,” ujar Sugiyatno yang mendapat gelar Ronggojati langsung dari Paku BUwono XII.
Baca Juga : Keris Surakarta, dari Mitos menjadi Karya Seni
Be the first to comment