Bagi Keraton Kasunanan Surakarta, hutan Krendawahono di Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah, memiliki peran penting dalam menjaga kelangsungan keraton. Konon, hutan ini merupakan lawang gapit atau pintu masuk keraton di sisi utara. Kekuatan mahkluk gaib hutan Krendawahono dipercaya mampu menghalau segala bentuk kekuatan jahat yang akan masuk keraton.
Di hutan itulah Keraton Surakarta tengah menggelar ritual Mahesa Lawung. Ritual ini rutin dilakukan pada bulan Rabiulakhir (bulan keempat dalam kalender Hijriyah), dan hanya digelar pada hari Senin ataui Kamis.
“Mahesa Lawung itu ritual memberikan sesaji kepada Dewi Kalayuwati, ‘penunggu’ hutan Krendawahono yang diyakini sebagai penjaga Keraton Surakarta di sisi utara dari dunia gaib,” kata Wakil Pengageng Sasana Wilopo Keraton Surakarta, Kanjeng Pangeran (KP) Winarno kusumo.
Mahesa Lawung juga sebagai bentuk syukur atas keselamatan yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Ritual ini mengacu pada masa Raja Surakarta Paku Buwono II yang mengganti nama Desa Sala menjadi Nagari Surakarta Hadiningrat pada tahun 1670. Saat itu, Sang raja menggelar ritual Mahesa Lawung setelah sepanjang 100 hari sejak pergantian nama, keraton mendapatkan berkah dan keselamatan.
Sebelum di Krendawahono, prosesi ritual ditandai dengan ratusan abdi dalem yang mengarak berbagai sesaji dari Dalem Gondorasan (dapur) keratin menuju Siti Hinggil Keraton Surakarta.

Selanjutnya, para abdi dalem menggunakan bus menuju hutan Krendawahono yang berjarak sekitar 20 kilometer arah utara Keraton Surakarta. Puncak ritual ini ditandai dengan menanam kepala, darah, kulit, jeroan dan kaki kerbau di area hutan. Selanjutnya sesaji berupa jajan pasar, ayam inkung, daging kerbau, dan nasi kebuli disantap bertsama-sama.
“Orang Jawa selalu menyebut bodo longa-longo koyo kebo (bodoh seperti kerbau).
Menanam kepala kerbau itu filosofinya membuang kebodohan. Ritual ini juga sebagai permohonan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selalu melimpahkan keselamatan bagi keraton.
Pengageng Museum dan Pariwisata Keraton Surakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Puger, mengungkapkan Mahesa Lawung berasal dari kata mahes mring kang Maha Esa (bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa). Sedangkan lawung artinya putih bercampur hitam, dua sisi dalam diri manusia sebagai hamba Tuhan.
“Ini ritual memohon keselamatan kepada Tuhan, bukan kepada takhayul. Pada zaman dulu, raja memohon keselamatan bukan hanya untuk dirinya sendiri dan keratin, namun juga keselamatan seluruh rakyat,” jelas Puger.
Nah, apa yang disebut sebagai Dewi Kayuwati dimaknai sebagai simbol waktu bagi manusia untuk memohon kedamaian dan keselamatan. Dari sisi etimologi, Kalayuwati berasal dari kata kala hayuning jiwa lan ati.
“Kala itu artinya waktu, hayu itu damai atau selamat. Jika ingin selamat dunia akhirat, manusia harus selalu meluangkan waktu untuk mengingat Tuhannya. Kita menyebutnya ibadah. Orang Islam sholat lima waktu, orang Kristen pergi ke gereja, Orang Hindu dan Budha ke candi, dan seterusnya,” ujar Puger.
Sedangkan kata krendawahana artinya tempat kematian. Artinya, di dunia ini manusia harus selalu ingat bahwa hidupnya tidak abadi. Manusia tidak boleh lupa bahwa suatu saat mereka akan meninggal dunia. Semua yang ada di dunia ini hanya sementara.
Banyak yang meyakini Keraton Surakarta dijaga oleh makhluk gaib di empat penjuru mata angin. Di sisi timur, penjaganya adalah Kanjeng Sunan Lawu yang menghuni Gunung Lawu.
Sementara Kanjeng Ratu Kidul (Nyai Rara Kidul) menjadi di sisi selatandan tinggal di Kereton Sokodomas Bale Kencono di laut selatan. Penjaga di sisi barat adalah Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, Kyai Sapu Jagad, dan Kyai Sapu Regol yang tinggal di Gunung Merapi. Sedangkan sisi utara dijaga oleh Dewi Kalayuwati di hutan Krendawahono.
budaya harus lestari karena karakter dan kebanggaan bangsa indonesia…jauhkan dari pemahaman keagamaan yg sempit
Asswrwb
Pangapunten Keraton Surakarta bukankah sebuah kerajaan Islam kenapa masih mengkultuskan dewa (Bethari Durga) ?