Kisah Penangkapan Pangeran Diponegoro

Minggu, 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro memenuhi undangan Gubernur Jenderal Hendrik Merkus Baron De Kock.

Pertemuan di ruang baca Wisma Residen Kedu pada lebaran kedua itu memang tidak membicarakan urusan politik dan perang.

Diponegoro datang sekadar silaturahmi seperti umumnya kaum muslim seusai bulan puasa.

Dalam bukunya, Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu (2002), sejarawan P Swantoro menulis; “Diponegoro sudah mengatakan, dalam bulan puasa yang akan berakhir 27 Maret 1830, ia tidak mau mengadakan pembicaraan apa pun.”

Pertemuan santai dan menyenangkan selama berjam-jam.

Mereka ngobrol sambil minum teh dan banyak makanan.

Sejarawan Inggris, Peter Carey, bahkan menggambarkan dalam buku Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (2014) bahwa dalam pertemuan itu Diponegoro dan Sang Gubernur saling cerita, dan bertukar lelucon.

Namun, suasana menyenangkan itu berubah memanas ketika de Kock melarang Diponegoro kembali ke Matesih.

Sultan Abdulhamid Cokro Amirulmukminin Sayidin Panotogomo Kalifatullah Tanah Jawa itu meletakkan cangkir di tangannya.

“Saya datang menemui Anda karena masih dalam suasana Syawal. Tidak ada salahnya saya yang lebih muda bersilaturahmi kepada Anda yang lebih tua. Inilah saatnya saling memaafkan,” kata Sang Pangeran pada Minggu pagi itu seperti ditulis Carey dalam Raden Saleh: Anak Belanda, Mooi Indie dan Nasionalisme.

“Tidak. Saya ingin urusan kita harus selesai hari ini,” kata de Kock.

Diponegoro bergeming.

Ia tidak habis pikir dengan kelicikan de Kock. “Sudah saya katakan bulan puasa baru saja lewat. Saya tidak punya agenda membahas masalah politik dalam pertemuan ini. Ada baiknya kita agendakan di lain hari.”

“Saya katakan untuk kedua kali, segala urusan harus diselesaikan sekarang,” de Kock bersikeras.

“Jadi untuk penangkapan inikah saya diundang ke Wisma Residen?”

“Alasan penangapanmu adalah agar semua persoalan di antara kita selesai hari ini juga,” de Kock setengah berteriak.

Pangeran Diponegoro Diasingkan

Ilustrasi Perang Jawa/Wikipedia

Pada akhir 1829, Diponegoro tahu cepat atau lambat saatnya akan tiba.

Setelah hampir tertangkap pada 11 November, Diponegoro berjuang nyaris seorang diri.

Dia bahkan sempat mengungsi di hutan-hutan di Bagelen Barat saat malaria menyerang tubuhnya.

1829 adalah tahun-tahun yang sulit bagi Sang Pangeran.

Banyak Tumenggung yang menyerah, termasuk istri Pangeran Mangkubumi, dan panglima perang yang gagah berani, Senthot.

Kemudian, pada tahun yang sama pula Pangeran Mangkubumi kembali ke keraton Kasultanan Yogyakarta.

Masa pelariannya semakin sulit dengan strategi Belanda yang mengadakan sayembara besar-besaran 20.000 gulden bagi yang berhasil menangkap Sang Pangeran, hidup atau mati.

Diponegoro tahu pada akhirnya dirinya akan ditangkap. Namun, dia tidak pernah menduga akan ditangkap dengan cara selicik ini.

“Diponegoro bisa saja menghunus keris dan menikam Jenderal De Kock, tapi ia merasa hal itu tidak layak dilakukan seorang bangsawan.

Jadi dia pasrah kepada takdir,” tulis Carey.

Lalu, Diponegoro menghampiri pengikutnya yang semuanya tertunduk.

Sang Pangeran sempat menghabiskan tehnya sebelum beranjak keluar diikuti de Kock, Residen Kedu Frans Gerhardus Valck, dan para perwira menengah Belanda.

Pasukan de Kock mengawal Sang Pangeran yang berjalan dengan gagah.

Di depan wisma, kereta kuda residen yang menunggunya.

Dalam catatan Peter Carey, setelah ditangkap dengan cara licik, Diponegoro dinaikkan kereta ke Ungaran, dan selanjutnya dibawa ke Karesidenan Semarang sebelum akhirnya dinaikkan kapal menuju Batavia.

Pada Mei-Juni 1830 itu, Diponegoro diasingkan ke Makassar dan kemudian Manado. Ia dipisahkan dari para pengikutnya.(*)

Baca juga :

Diponegoro dan Perang Paling Melelahkan

Paku Buwono VI dan Strategi Dua Muka Melawan Belanda

Keris dan Sejarah Kelam dari Singasari hingga Mataram

 

Tinggalkan komentar