Perang Paregreg. Inilah perang setahap demi setahap –arti sesungguhnya dari Paregreg, antara Wikramawardana, keponakan sekaligus menantu Raja Hayam Wuruk, dengan putra selir sang raja, Bhre Wirabum.
Patih Gajah Mada meninggal pada 1364.
Raja Hayam Wuruk terpukul.
Tahun-tahun setelahnya, ia merangkap jabatan patih dibantu raja-raja bawahannya dan penasehat kerajaan.
Dalam artikel Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit (1983, hlm. 205), sejarawan Slamet Muljana mencatat perdana menteri Sang Arya serta dua penasihatnya, Mpu Nandi dan Mpu Nala, ikut membantu jalannya pemerintahan.
Sepeninggal Gajah Mada, Majapahit goyah.
Beberapa wilayah taklukan yang jauh dari pusat pemerintahan mulai melepaskan diri.
Meskipun tertatih-tatih, Hayam Wuruk masih mampu memerintah sampai 24 tahun sebelum akhirnya mangkat pada 1389.
Perlahan tapi pasti, kerajaan besar itu menuju senjakala.
Polemik perebutan kekuasaan antara Wikramawardana dan Bhre Wirabumi yang selama ini bagai api dalam sekam mulai terlihat terang-terangan.
Perang Paregreg memang identik dengan dua tokoh kerajaan itu.
Nama asli Bhre Wirabhumi tidak diketahui.
Menurut Pararaton, ia adalah putra Hayam Wuruk dari selir yang kemudian diangkat anak oleh Rajadewi, mertua Hayam Wuruk.
Bhre Wirabumi kemudian menikah dengan Nagarawardhani, putri Rajadewi-Wijayarajasa.
Semasa pemerintahan Hayam Wuruk, hubungan antara istana barat dan timur terjalin harmonis.
Tidak heran karena Bhre Lasem di istana timur adalah Rajadewi alias Indudewi bersama suaminya Wijayarajasa.
Ketika Indudewi meninggal, Bhre Lasem diserahkan kepada Nagarawardhani.
Namun, pada saat yang sama Wikramawardhana yang naik tahta menggantikan Hayam Wuruk juga mengangkat istrinya, Kusumawardhani, sebagai Bhre Lasem.
Perang Paregreg dan Dualisme Kepmimpinan
Pararaton mencatat terdapat dua Bhre Lasem, yaitu Bhre Lasem Sang Alemu istri Bhre Wirabhumi, dan Bhre Lasem Sang Ahayu istri Wikramawardhana.
Sengketa jabatan Bhre Lasem ini memunculkan perang dingin antara istana barat dan timur sampai akhirnya dua Bhre sama-sama meninggal pada 1400.
Wikramawardhana segera mengangkat menantunya, istri Bre Tumapel, menjadi Bhre Lasem baru.
Pengangkatan Bhre baru mengubah perang dingin istana barat dengan timur menjadi perselisihan.
Sempat terjadi pertengkaran antara Bhre Wirabhumi dan Wikramawardhana pada 1401.
Setelah peristiwa itu keduanya tidak menyapa.
Api dalam sekam Majapahit semakin berkobar, hingga puncaknya meletus Perang Paregreg pada 1404.
Selama dua tahun, perang saudara terus berkobar.
Pemenangnya pun silih berganti antara barat dan timur.
Pada 1406, pasukan barat di bawah Bhre Tumapel menyerbu pusat istana timur.
Bhre Wirabhumi menderita kekalahan dan melarikan diri.
Namun, Raden Gajah alias Bhra Narapati berhasil membunuh Bre Wirabumi.
Ia memenggal kepala Bhre dan membawanya ke istana barat.
Perang Pargreg berlangsung sektar dua tahun.
Namun, kesibukan perang mengakibatkan Majapahit kurang fokus mengurus daerah-daerah taklukan.
Akhir perang memang menyatukan istana timur dan barat.
Namun membawa banyak kemunduran pada Majapahit.
Banyak daerah bawahan yang kemudian lepas, Kalimantan Barat yang berhasil direbut Kerajaan Cina pada 1405.
Disusul kemudian Palembang, Melayu, dan Malaka yang memerdekakan diri dan tumbuh menjadi bandar-bandar perdagangan ramai.
Brunei yang tergolong daerah makmur pun lepas memerdekan diri.
Di sisi lai, Raja Wikramawardhana harus membayar ganti rugi pada Dinasti Ming, penguasa Cina.
Sebab Perang Paregrek juga mengakibatkan sebanyak 170 prajurit anak buah Laksamana Cheng Ho menjadi korban.
Wikramawardhana harus mengangsur denda 60.000 tahil.
Hingga tahun 1408, Sang Raja baru bisa membayar 10.000 tahil.
Kemunduran Majapahit

Pasca Perang Paregreg, Wikramawardhana memboyong Bhre Daha, putri Bhre Wirabhumi, sebagai selir, yang melahirkan Suhita.
Putri Wikramawardhana menggantikan takhta pada 1427, setahun setelah ayahnya mangkat.
Saat berkuasa di Majapahit, Suhita membalas dndam kematian kakeknya, Bhre Wirabumi, dengan menghukum mati Raden Gajah pada 1433.
Sejumlah sejarawan seperti Vlekke, Ricklefs, dan Lombard menyebut keruntuhan Majapahit akibat lemahnya kepemimpinan pasca Hayam Wuruk dan Gajah Mada.
Perang saudara yang berlarut-larut membuat Majapahit lemah, sehingga gagal mengontrol daerah taklukan.
Daerah-daerah bandara di pesisir utara Jawa mulai dari Gresik, Surabaya, Tuban, Rembang, Jepara, dan Demak pun membentuk negara sendiri.
Hingga akhirnya masuk para wali yang menyebarkan agama Islam.
Para pemeluk Hindu-Buda pun berpindah masuk Islam.
Ratu Suhita memerintah selama 20 tahun mulai 1427-1447, dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya yang memerintah sampai 1451.
Bhre Pamotan kemudian menggantikan Kertawijaya dengan gelar Rajasawardhana selama dua tahun.
Selama tiga tahun tahta Majapahit kosong karena krisis pewaris tahta.
Putra Kertajaya, Girisawardhana alias Bhre Wengker akhirnya naik takhta pada 1456 bergelar Hyang Purwawisesa.
Seperti ayahnya, ia memberikan kedudukan penting kepada kalangan Islam.
Meninggal pada 1466, Bhre Wengker digantikan oleh Singhawikramawardhana.
Pada 1468 Bhre Kertabhumi merebut tahta Majapahit dari Singhawikramawardhana.
Ia kemudian mengangkat dirinya sebagai raja Majapahit bergelar Brawijaya V.
Saat kemunduran Majapahit semakin nyata, proses Islamisasi justru makin berkembang baik dari sisi budaya sampai politik.
Disusul kemudian munculnya kerajaan-kerajaan kecil yang merdeka.
Armada laut Majapahit tidak lagi mampu mengontrol wilayah yang tersisa.(*)
Baca juga :
- Gayatri Rajapatni, Perempuan di Balik Kejayaan Majapahit
- Ken Dedes, Ibu Raja-raja di Tanah Jawa
- Keris dan Sejarah Kelam dari Singasari hingga Mataram