Festival Getek, Mengenang Kejayaan Bengawan Solo

Festival Getek Bengawan Solo merupakan sebuah ajang festival yang diselenggarakan setahun sekali di sepanjang Sungai Bengawan Solo. Iring-iringan getek (rakit bambu) dalam acara tersebut seperti memunculkan kembali kota Solo masa lalu. Dimana Kota Solo atau Surakarta pada abad XIII-XIX adalah kota air, Sungai Bengawan Solo menjadi “jalan raya” utama, getek dan perahu lalu lalang membawa berbagai barang seperti hasil bumi, garam, dan kain batik.

Pada masa itu, para saudagar, pedagang, bangsawan melintas dari satu bandar ke bandar lain yang bertebaran dari Wonogiri (sekitar 30 kilometer aeah selatan Solo) hingga jauh ke Gresik, Jawa Timur. Suasana masa lalu semacam itulah yang ingin dihidupkan kembali lewat “Festival Getek Bengawan Solo”.

Disetiap ajang Festival Getek, belasan getek memenuhi tepian Sungai Bengawan Solo di Kampung Ngepung, Sangkrah, Pasar Kliwon. Getek-getek yang berjalan beririgan dihias sedemikian rupa, menyusuri Sungai Bengawan Solo, menempuh rute Ngepung hingga Taman Ronggowarsito di kawasan Jurug sejauh sekitar 5 km.

Di sepanjang perjalanan, para peserta Festival Getek menampilkan pertunjukan kesenian, seperti tari gambyong, tari punakawan, tetabuhan gamelan dan musik keroncong. Langgam “Bengawan Solo” karya Gesang pun terdengar di antara laju getek. Dalam festival ini, setiap getek memang dilengkapi dengan satu kelompok musik, sehingga sepanjang perjalanan terus menerus terdengar alunan musik.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 2 kilometer dari Ngepung, perahu-perahu bambu yang turut meramaikann festival getek ini merapat ke Kampung Beton di Kelurahan Sewu, Jebres. Di tempat ini, mereka disambut dengan kemeriahan ritual Apem Sewu. Ritual ini merupakan tradisi masyarakat setempat yang digelar untuk menyambut datangnya bulan Dulhijah atau bulan Besar.

Tradisi ini juga sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan karena kampung mereka terhindar dari bencana, terutama banjir. Pasalnya, Kampung Beton ini berada di pinggir Sungai Bengawan Solo, sehingga termasuk daerah rawan banjir. Konon, tradisi apem sewu ini berawal dari kebiasaan yang dilakukan oleh seorang ulama penyebar syiar agama Islam Ki Ageng Gribig. Setiap memasuki bulan Besar, sang ulama meminta kepada seluruh warga untuk membuat 1.000 kue apem dan kemudian membagikannya kepada warga di tetangga desa sebagai bentuk rasa syukur.

Dalam tradisi ini, ribuan apem yang disusun berbentuk gunungan dikirab keliling kampung, diiringi aneka kesenian tradisional layaknya karnaval. Selanjutnya, gunungan apem yang telah didoakan sesepuh desa diperebutkan warga.

Di Kampung Beton inilah Walikota dan para penumpang getek turun untuk membagi-bagikan hasil bumi yang mereka bawa kepada warga setempat. Konon, pada zaman dulu kebiasaan membagi-bagikan hasil bumi seperti ini selalu dilakukan oleh para saudagar dan kalangan bangsawan keraton. Terutama ketika mereka melihat keramaian rakyat di kampung-kampung pinggir sungai yang dilewati.

Seusai mampir di Kampung Beton, arak-arakan festival getek dilanjutkan menuju Taman Ronggowarsito di sekitar jembatan Jurug, para peserta festival getek biasanya akan disambut dengan kesenian lain seperti reog dan tari-tarian.

“Festival Getek ini digelar agar masyarakat mengingat kembali kejayaan Bengawan Solo masa lalu sebagai sarana transportasi. Selain itu festival ini sekaligus sebagai kampanye sungai bersih dan sehat,” kata Rudy, sapaan walikota Solo.

Bengawan Solo selama ini memang menjadi salah satu ikon Kota Solo. Sungai terpanjang di Pulau Jawa ini adalah saksi bagi perjalanan panjang manusia sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno, Majapahit, Pajang, Mataram Islam, hingga Kraton Kasunanan Surakarta.

Hulu atau mata air Bengawan Solo berada di daerah Wonogiri menuju muaranya di Laut Jawa di sekitar Gresik. Pada sepanjang alirannya, sungai ini telah mengukir sejarah peradaban. Salah satunya adalah menjadi sarana transportasi dan perdagangan di pedalaman Jawa dengan 44 bandar besar sepanjang Wonogiri di laut selatan hingga Gresik di laut utara.

Sungai ini, misalnya, menyimpan kisah Jaka Tingkir sebelum akhirnya menjadi Raja Pajang dengan gelar Sultan Hadi Wijaya (1549-1582). Konon, ia menyusuri sungai Bengawan Solo dengan getek yang disangga 40 ekor buaya untuk mengabdi sebagai prajurit di Kerajaan Demak, pusat pemerintahan pada masa itu. Kerajaan ini merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Pajang, kemudian Mataram, sebelum akhirnya Mataram pecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta lewat perjanjian Giyanti tahun 1755. (baca juga : Misteri Makam Kembar Jaka Tingkir)

”Sungai ini menyimpan banyak peristiwa tentang Solo. Bengawan Solo pernah menjadi nadi kehidupan, sehingga kita ingin mengabadikannya lewat festival getek ini,” tambah Rudy.

Festsival Getek Bengawan Solo diselenggarakan bukan sekadar arak-arakan getek, tetapi juga untuk menggugah kesadaran masyarakat untuk terus menjaga kebersihan sungai. Sebab sungai bukanlah tempat sampah di mana warga bisa membuang apa saja. (GNA)

Tinggalkan komentar