Sekaten, Pesta Rakyat Menjelang Maulud Nabi Muhammad

Sekaten-di-Solo

Sekaten yang identik dengan pesta rakyat, merupakan rangkaian acara untuk memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW (kelahiran Nabi Muhammad SAW) di Kraton Kasunanan Surakarta, juga Kasultanan Yogyakarta.

Tradisi yang sudah digelar sejak zaman Demak, kerajaan Islam pertama setelah runtuhnya Majapahit yang Hindu (1478), awalnya menjadi media syiar agama Islam oleh Raden Patah, raja pertama Demak, bersama walisanga terutama Sunan Kalijaga.

Pasar Malam Sekaten sesungguhnya hanyalah acara pelengkap tradisi sekaten.

SEKATEN-Solo
Gamelan sekaten

Menurut Pengageng Museum dan Pariwisata Kraton Kasunanan Surakarta Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Puger, nama Sekaten berasal dari kata syahadatain atau kalimat syahadat yang harus diucapkan seseorang ketika masuk agama Islam.

“Di luar itu, kata sekaten juga dikaitkan dengan nama gamelan buatan Sunan Kalijaga, yaitu Kyai Sekati. Pada zamannya, gamelan ini selalu ditabuh untuk mengundang warga mengikuti dakwah dan pengajian,” jelas Puger.

Di Kraton Surakarta, gamelan “kyai sekati” yang dimaksud adalah Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari. Seperangkat gamelan sekaten ini masing-masing hanya terdiri dari bonang, saron dan gong.

Ritual Sekaten

Lewat ritual Miyos Gongso, dua perangkat gamelan pusaka menandai dimulainya tradisi sekaten pada Selasa (8/02).

Ritual ditandai dengan dikeluarkan dua gamelan dari Bangsal Sri Manganti menuju pagongan di komplek Masjid Agung dengan pengawalan para prajurit kraton.

Pagongan adalah sebuah bangunan berbentuk panggung, yang secara khusus dipergunakan untuk menempatkan sekaligus memperdengarkan gamelan pusaka sekaten setiap bulan Maulud.

Saat ritual, pagongan dihiasi dengan janur (daun kelapa yang masih muda).

Seperti halnya gamelan, bangunan pagongan juga berjumlah sepasang, terletak di sisi depan utara dan selatan Masjid Agung.

Gamelan Kyai Guntur Madu diletakkan di Pagongan Lor (utara) sedangkan Kyai Guntur sari di Pagongan Kidul (selatan)

Sementara itu, ribuan warga tumplek blek (memadati) di halaman masjid menunggu tetabuhan sekaten dimulai.

Menjelang gamelan dibunyikan, di komplek masjid ini juga banyak dijumpai para penjual sirih, kinang, dan telor asin.

Ada tradisi unik yang sudah berlangsung lama di masyarakat berkait gamelan sekaten ini, yaitu mengunyah sirih.

Masyarakat percaya bahwa begitu mendengar gamelan ditabuh, kemudian mereka nginang (mengunyah kinang) akan awet muda.

Seperangkat kinang terdiri dari daun sirih, kinang, gambir, kembang kantil, tembakau, dan kapur) Konon, jika setelah nginang bibir dan gigi tidak berwarna merah, maka orang tersebut berarti sering bohong.

Sedangkan telor asin merupakan simbol lahir kembali menjadi seseorang yang berjiwa bersih, pemberani, dan penuh keberkahan.

“Kinang ini harus dimakan saat sekaten agar awet muda dan mendapatkan berkah dari Kiai Guntur Sari dan Kiai Guntur Madu. Ini kepercayaan yang sudah turun-temurun,” ujar Darmini yang setiap tahun selalu mengiuti ritual Miyos Gongso.

Maka, begitu gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari ditabuh, orang-orang secara serempak langsung mengunyah sirih.

Tak hanya itu, begitu terdengar bunyi gamelan, warga pun berebut janur yang menjadi penghias pagongan yang diyakini membawa berkah.

Gending Sekaten

Dua gending pembuka sekaten ini adalah gending Rambu dan Rangkur.

Selama sepekan, dua gamelan ini akan ditabuh setiap hari selama 24 jam, dan hanya berhenti saat kumandang adzan.

Gending-gending yang dimainkan kental dengan nuansa magis yang, berisi pujian kepada Allah SWT dan Shalawat Nabi, serta ajakan untuk menjalankan Syariat Islam secara khusuk, antara lain gending “Dendang Sabenah”, “Rangkung”, “Lung Gadungpel”, “Orang-aring” dan “Srundeng Gosong”.

Menurut Pengageng Sasana Wilapa Keraton Surakarta Kanjeng Pangeran (KP) Winarno, melalui gending-gending Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari, ada dua kebenaran yang disampaikan.

Pertama syahadat taukhid (yakin pada Allah SWT) lewat gending Rembu (Robbuna) dari gamelan Kyai Guntur Madu. Kebenaran kedua adalah syahadat rasul dari gamelan Kyai Guntur Sari lewat gendhing Rangkung (roukhun).

“Jadi gending gamelan sekaten ini sebenarnya bukan sekadar tontonan, tapi juga tuntunan,” kata Winarno.

Tradisi sekaten, lanjut Winarno, merupakan bentuk mikul dhuwur mendhem jero (mengingat kebaikan para pendahulu dan melupakan kekurangannya) dari Karaton terhadap perjuangan walisanga dalam melakukan agama Islam.

Perayaan sekaten yang akan diakhiri dengan Grebeg Maulud pada 12 Rabiul Awal (15 Februari).

Grebeg Maulud merupakan sedekah dari Raja Surakarta Paku Buwono XIII kepada rakyatnya, berupa jajan pasar (makanan tradisional) dan hasil bumi dalam bentuk sepasang gunungan.

Kedua gunungan ini diarak dari kraton menuju Masjid Agung untuk didoakan.

Begitu digotong keluar dari masjid, gunungan ini langsung menjadi rebutan ribuan warga yang sudah menunggu berdesakan di halaman masjid.

Mereka mengambil apa saja yang menjadi bagian dari gunungan, karena percaya bahwa gunungan merupakan berkah dari keraton.

Dengan ritual Grebeg Maulud ini, maka perayaan sekaten yang berlangsung selama dua pekan pun berakhir. (GNA)



Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*