Jenis senjata tikam ini memiliki jejak yang panjang. Sejarah keris bahkan tercatat telah ada di Nusantara –sebelum kemudian bernama Indonesia, dan digunakan sejak abad ke-9.
Selain digunakan sebagai senjata, keris kerap dianggap memiliki kekuatan supranatural.
Senjata tikam ini menjadi senjata khas, dan banyak digunakan di daerah-daerah dalam rumpun Melayu.
Keris banyak ditemukan di pulau Jawa dan Sumatra, kemudian Malaysia, Brunei, Thailand, dan Filipina Selatan (Pulau Mindanao).
Hanya saja, untuk daerah yang terakhir ini keris sudah mulai langka.
Keris memang khas, terutama bentuknya.
Mudah dibedakan dari senjata tajam lain karena bentuknya yang tidak simetris, bagian pangkal yang melebar dengan bilah berkelok, lurus, serta berpamor.
Wikipedia menyebut istilah pamor menunjuk pada guratan terang pada bilah yang muncul akibat tempaan terhadap pencampuran dua atau lebih material logam yang berbeda.
Sejarah keris yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu di Indonesia bisa ditemukan pada relief-relief candi pada sebelum abad ke-10.
Keris menjadi senjata istimewa, dan karena itu Unesco, organisasi kebudayaan dunia di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), megakuinya sebagai warisan budaya dunia.
Negara-negara barat mengenal keris sejak abad ke-17.
Di Inggris, sejarah keris tercatat pada 1637 di mana pada masa itu keris sudah dimiliki oleh seorang kolektor.
Sedangkan sejarah keris di Denmark tercatat pada 1947.
Sejarah Keris
Pada prasasti batu di Desa Dakuwu, Grabag, Magelang, JawaTengah, sejarah keris bisa ditelusuri dari relief yang menggambarkan peralatan besi.
Prasasti dibuat sekitar tahun 500 ditulis dalam huruf Pallawa menggunakan bahasa Sansekerta.
Relief bercerita tentang mata air yang jernih dengan beberapa gambar senjata seperti trisula, kudi, sabit, belati, dan pisau yang bentuknya mirip dengan keris.
Seni mengolah logam di Jawa juga bisa dilihat dari relief sejumlah candi,terutama Borobudur dan Prambanan.
Relef-relief di kedua candi itu memperlihatnya adanya gambar senjata tikam menyerupai lembaran daun. Pada salah satu batu di Candi Borobudur terdapat relief beberapa perajurit yang membawa senjata tajam menyerupai keris (Maisey 1998; Harsrinuksmo 2004).
Candi Prambanan juga memiliki relief serupa, terutama di candi utama (Candi Siwa), berupa seekor monyet yang menghunus senjata mirip belati.
Jenis senjata tikam di Candi Prambanan itu sama dengan yang ada di Candi Borobudur. Relief serupa juga terdapat di Candi Singasari (1300), Candi Jawi, dan Candi Panataran.
Guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada (UGM) Soekiman menyebut sejarah keris bermula dari Keris Budha yang tercatat sebagai keris pertama yang pernah dibuat di Nusantara pada masa Mataram Kuno, abad ke-8 sampaike-10.
Keris Buda diperkirakan sebagai peninggalan keris generasi pertama yang kelak menjadi cikal baka lahirnya keris.
“Belum diketahui pada abad berapa sebenarnya Keris Budha dibuat.
Di Jawa Timur, keris peninggalan Kahuripan, Jenggala, Daha dan Singasari pada abad ke-10 sampai 13.
Sejarah Masa Keemasan Keris
Kerajaan Majapahit kemuduian melanjuta tradisi pembuatan keris.
Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada sebagai mahapatih, kebudayaan keris tersebar luas hingga kawasan Nusantara, seperti Malaysia, Brunei,Thailand, Filipina, dan dan Kamboja.
Banyak sejarawan menganggap bahwa masa Kerajaan Mataram Islam mewakili fase di mana pembuatan keris di Jawa mengalami masa kejayaan.
Pada masa itu, perkembangan keris sangat, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Keris sebagai senjata peang adalah salah satu alasan kuat meningkatnya perkembangan itu.
Di masa Raja Mataram ketiga, Sultan Agung, muncul dapur-dapur baru.
Dapur keris bisa diartikan ragam bentuk keris sesuai dengan ricikan yang terdapat pada bilah berdasrakan jumlah luk (lekukan)-nya.
Misalnya dapur keris Nagasasra, dapur keris Sabuk Inten, dapur keris Sengkelat, dapur keris Jalak Sepuh, dan dapur keris Tilam Upih.
Pada masa Mataram Sultan Agung para mpu juga mulai megenal budaya kinatah pada keris.
Tradisi pembuatan keris terus berkembang pada era nom-noman, terutama setelah Mataram terbagi menjadi dua, Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta pada tahun 1755.
Pada masa Raja Surakarta Paku Buwono III terjadi perkembangan yang sangat mencolok dalam pembuatan keris, terutama dalam pemilihan material atau bahan baku keris.
Para mpu melakukan eksplorasi estetik baru pada dapur dan ricikan (penamaan bagian-bagian pada keris untuk menentukan dapur keris) yang semakin detil.
Baca juga : Keris dan Sejarah Kelam dari Singasari hingga Mataram
Filosofi Keris
Filosofi keris selalu terkait dengan sejarah keris itu sendiri.
Konon, pada awal-awal naik tahta, Sultan Agung kerap memerintahkan Mpu Ki Anom, mpu keris kepercayaannya, untuk membuat keris luk tiga dapur jangkung.
Para raja Jawa sering memesan keris luk 13 di akhir-akhir kekuasaannya.
Keris memang bukan sekadar senjata.
Bukan pula sekadar karya seni tingkat tinggi.
Keindahan keris tidak hanya terletak pada pamor, dapur, dan keutuhannya.
Lebih dari itu, keris selalu mengandung filosofi.
Di masyarakat Jawa, nilai filosofi keris pertama kali bisa dilihat dari warangka (rangka atau sarung keris).
Sebagai bagian dari salah satu kelengkapan, warangka akan terlihat secara langsung.
Sementara kerisnya sendiri tak tampak karena tersimpan di dalamnya.
Maka, warangka menjadi penanda status sosial dari pemilik keris.
Warangka adalah pakain sebagai pelindung keris.
Warangka Branggah atau Ladrang diperuntukkan dalam acara-acara resmi, kemudian warangka Gayaman untuk harian.
Baca juga : Warangka Keris Gayaman Gaya Surakarta
Warangka terdiri dari gaya Yogyakarta dan Surakarta.
Filosofi keris juga bisa dilihat dari Wilah (bilah) yang merupakan bagian utama keris.Penamaan ragam dari wilah secara utuh dikenal dengan istilah dapur.
Setidaknya terdapat beberapa bagian pada wilah dengan filosofi yang berbeda.
Beberapa bagian itu antara lain dapur, paksi, ganja, pesi, luk, dan pamor.
Berikutnya adalah luk, yaitu bagian bilah yang berkelok.
Pada keris yang tidak berkelok maka termasuk jenis luk lurus. Keris luk memiliki jumlah kelokan ganjil mulai 1 sampai 13.
Bagian-bagian Keris
Secara umum, keris terdiri dari tiga bagian utama, yaitu wilahan (bilah), ganja, dan pesi.
Kitab-kitab kuno menyebut bilah keris adalah lambang dari lingga (phallus), sedangkan ganja keris merupakan simbol dari yoni. Pesi menjadi pemersatu antara lingga dan yoni.
Persatuan antara lingga dan yoji inilah yang kelak akan melahirkan kesuburan, kesinambungan, dan keabadian.
Wilah
Wilah atau bilah keris terdiri dari tiga bagian; pucuk, tengah atau awak-awak, dan sor-soran atau bongkot (pangkal).
Ricikan atau komponen keris hampir seluruhnya menempai bagian sor-soran keris.
Bilah keris memiliki lima bentuk permukaan.
Tiga permukaan bilah dengan ada-ada, yaitu nggigir sapi, ngadal meteng, dan ngeruwing.
Dua lainnya yang tanpa ada-ada adalah nglimpa dan rata.
Sedangkan dilihat dari bentuknya secara utuh, bilah keris terbagi tiga, yaitu mbambang nilam upih atau anggodong pohung, mucuk bung, dan nyujen.
Dari kemiringan posisi bilah terhadap garis ganja, ada tiga macam, yaitu condong, leleh, dan mayat.
Ganja
Ganja letaknya di bagian bawah sebagai “alas” bilah.
Di bagian tengah ganja ganja terdapat lobang untuk memasukkan pesi.
Bentuk ganja sepintas mirip bentuk cicak (cecak).
Bagian depan disebut endas (kepala) cecak, bagian ujung endas cecak yang meruncing dinamakan cocor.
Sedangkan bagian belakang endas cecak terdapat bagian ganja yang menyempit yang dikenal dengan nama gulu meled.
Pada bagian perut ganja disebut dengan istilah wetengan, waduk atau gendok.
Untuk bagian ekor ganja bernama buntut cecak.
Nah, tepat di bagian perut ganja inilah terdapat omah-omahan atau lubang untuk pesi.
Di Jawa, ganja terdiri dari berbagai macam.
Beberapa di antaranya adalah Sebit Rontal, Mbatok Mengkurep, Wuwung, Wilut (Welut), Dungkul, Sepang, dan Kelap Lintah.
Ganja wuwung merupakan bentuk ganja paling tua.
Keris-keris tangguh Segaluh, Pajajaran, dan Tuban umumnya memakai ganja wuwung.
Sedangan untuk keris Bali, bentuk ganja antara lain leser, celeg, dungkul, dan ombak-ombakan.
Bentuk ganja biasanya untuk menentukan tangguh atau masa pembuatan keris.
Detil Keris
Kembang Kacang (Telale Gajah)
Telale gajah atau belalai gajah adalah bagian bawah depan keris (gandik) yang melengkung.
Telale gajah biasa dikenal dengan istilah lambe gajah (mulut gajah).
Di sebut lambe gajah karena bentuknya lancip menonjol mirim mulut gajah.
Pada beberapa keris terdapat terdapat beberapa perbedaan bentuk.
Beberapa memang berbentuk mirip kepala gajah sehingga lengkungannya sah-sah saja disebut disebut telale atau lambe gajah.
Namun, pada beberapa keris yang lain yang bentuknya memang seperti kembang kacang.
Bentuk kembang kacang itu sendiri bervariasi, antara lain kembang kacang Bungkem, Nggelung Wayang, Nyunthi, dan Pogog seperti hidung raksasa di pewayangan sehingga sering juga disebut Ngirung Buto.
Ada juga yang Nyucuk Peksi karena bentuknya seperti paruh burung yang sedang mematuk, kemduian Nguku Bima karena mirip dengan kuku tokoh pewayangan, Bima.
Dalam sejarah keris, ricikan kembang kacang muncul setelah zaman Segaluh.
Bentuknya benar-benar sempurna pada keris-keris tangguh Jenggala.
Keris tangguh Buda tidak memiliki kembang kacang.
Pesi
Yang dimaksud dengan Pesi adalah tangkai bilah keris di bawah ganja.
Pesi juga sering disebut dengan nama Peksi, Paksi, Puting, dan Punting.
Bungkul
Berasal dari kata sebungkul.
Bungkul atau bonggol merupakan kelanjutan dari bagian janur yang bersinggungan dengan bagian ganja. Bentuknya mirip irisan bawang.
Blumbangan
Juga disebut dengan nama Pejetan atau Pijetan, yaitu lekukan di belakang bagian gandhik.
Pada keris-keris dengan garapan bagus, bentuk blumbangan biasanya terlihat halus dan indah.
Srewehan
Adalah bagian yang melandai di belakang Sogokan sampai ke bagian Greneng.
Gandhik
Gandhik adalah raut muka bilah.
Beberapa polos, tapi sebagian besar memiliki kembang kacang dan lambe gajah.
Gandhik umumnya terletak di bagian depan bilah, meskipun ada juga yangletaknya di bagian belakang.
Nah, bagian bawah gandhik ini bersinggungan dengan ganja.
Jalu Memet
Adalah tonjolan runcing pada bagian paling bawah gandhik, hampir berhimpitan dengan ganja.
Jenggot atau Janggut berupa beberapa tonjolan tajam pada bagian dahi kembang kacang.
Biasanya jumlahnya tiga tonjolan.
Tikel Alis
Disebut tikel alis karena bentuknya melengkung seperti alis mata.
Lengkungan mulai dari bagian atas gandhik ke atas dengan panjang sekitar 3,5 cm.
Jalen
Jalen merupakan tonjolan tajam, hanya sebuah, persis di ketiak Kembang Kacang.
Ada sebagian yang berpendapat, yang disebut Jalen merupakan Jalu Memet, begitu juga sebaliknya.
Memang dalam buku-buku kuno terdapat perbedaan pendapat, tidak ada alasan yang kuat untuk membenarkan salah satu pendapat atau menyalakan pendapat lainnya.
Sogokan Depan
Sogokan Depan, relatif lebih dalam dibandingkan dengan alur Tikel Alis, letaknya di belakang Tikel Alis.
Bagian bawah Sogokan Depan langsung menyambung dengan Blumbangan atau Pejetan.
Lis-Lisan
Lis-Lisan atau Elis, merupakan garis batas sepanjang tepi bilah, dari atas Kembang Kacang atau Gandhik ke atas ujung bilah, melingkar turun ke bawah sampai ke dekat Greneng.
Garis batas ini merupakan sudut tumpul dan merupakan batas daerah Gusen.
Gusen
Gusen adalah daerah sempit sepanjang tepi bilah yang dibatasi oleh tepi bilah yang tajam, dengan garis Lis-Lisan.
Kruwingan
Kruwingan atau Keruwingan merupak garis yang mendampingi Lis-Lisan, dalam jarak sekitar 1 cm.
Kruwingan ini ada yang sampai ke dekat ujung bilah, ada pula yang hanya setengah panjang bilah saja.
Ada-Ada
Ada-Ada atau Sada, bisa dikatakan merupakan garis tengah dari bilah keris, yang agak menonjol dari permukaan bilah keris.
Dengan mengamati bentuk potongan melintang bilah keris, terutama bagian Ada-Ada, maka kita bisa membedakan bilah keris yang Ngadal Meteng atau Nggingir Lembu.
Janur
Berbentuk alur yang membukit, yang memisahkan Sogokan Depan dengan Sogokan Belakang.
Bagian atas dari Janur ini menyambung ke Ada-Ada, sedangkan bagian bawahnya menyambung ke Bungkul.
Sogokan Belakang
Sama seperti Sogokan Depan, hanya letaknya di bagian belakang, bersebelahan dengan Janur.
Wadidang
Merupakan bagian tepi sebelah belakang daerah Sor-Soran.
Ron Dha Nunut
Ron Dha Nunut adalah rangkaian beberapa duri kecil di bagian Wadidang yang seolah membentuk huruf Dha menurut abjad Jawa.
Letaknya di bagian sebelah bawah dari Wadidang.
Tungkakan
Bagian yang melengkung yang membatasi bagian buntut ganja dengan bagian bilah keris sebelah bawah paling pojok.
Greneng
Rangkaian beberapa duri kecil di bagian sebelah bawah Wadidang yang terdiri dari Ri Pandan atau Eri Pandan dan Ron Dha Nunut serta Ron Dha.
Ada yang merupakan Greneng lengkap/utuh dan ada pula Greneng tidak lengkap atau disebut juga Greneng Wurung, yang bentuknya lebih sederhana.
Ri Pandan
Ri Pandan atau Eri Pandan, berujud seperti duri yang meruncing di antara Ran Dha dan Ron Dha Nunut atau antara dua buah Ron Dha.
Kanyut
Terletak di bagian ekor dari Ganja, wujudnya seperti duri tetapi biasanya agak melengkung ke atas, tepat di Buntut Urang dari Ganja.
Thingil
Berbentuk duri tumpul, lebih besar dari ukuran duri-duri pada Ri Pandhan atau Ron Dha.
Kalau memakai Thingil, maka keris itu tidak memakai Greneng.
Pundhak Setegal
Pundhak Setegal atau Pundhak Sategal , bentuknya merupakan duri yang ukurannya lebih besar dari Thingil, mirip dengan kelopak bunga yang mencuat ujungnya keluar dari tepi bilah keris.
Pundhak Sategal ini harus sepasang, yaitu di bagian depan dan di bagian belakang. (*)
Baca juga : Mengenal Anatomi atau Ricikan Keris Jawa