Ruwatan, Tradisi Menyelamatkan Sukerto dari Batara Kala

Tradisi ruwatan hingga kini masih hidup dalam masyarakat Jawa. Inilah ritual yang memiliki makna pembebasan sekaligus penyucian manusia sukerto dari  “dosa bawaan”.

 Tradisi ruwatan akan dilengkapi dengan pertunjukan wayang kulit yang menampilkan lakon Murwakala.

Ruwatan dilakukan terhadap  para sukerto yang karena “dosa bawaannya” akan menjadi santapan Batara Kala.

Kisah ini berawal dari janji sang ayah, Batara Guru, yang hanya membolehkan Batara Kala memangsa anak-anak sukerto, yakni anak-anak yang berdosa karena takdirnya.

Namun, pada saat yang sama Batara Guru memberi jalan keluar kepada para sukerto agar tidak dimenjadi mangsa Batara Kala, yaitu dengan cara menggelar ritual ruwatan.

Lakon Murwakala sebenarnya memberi pesan bahwa tidak ada manusia yang sempurna, dengan kata lain manusia selalu terlibat dalam kesalahan.

Orang Sukerto

Lantas siapa saja yang termasuk orang-orang sukerto? Secara garis besar terdapat tiga kelompok sukerto, yaitu :

Pertama adalah sukerto karena kelahiran, antara lain:

  • Ontang-anting : Anak tunggal laki-laki.
  • Unting-unting : Anak tunggal wanita.
  • Gedhana-gedhini : Satu anak laki-laki dan satu anak wanita dalam keluarga.
  • Uger-uger lawang : Dua anak laki-laki dalam keluarga.
  • Kembar sepasang : Dua anak wanita dalam keluarga.
  • Pendhawa : Lima anak laki-laki dalam keluarga.
  • Pendhawa pancala putri : Lima anak perempuan dalam keluarga.
  • Kembar : Dua anak laki-laki atau wanita lahir bersamaan.
  • Gotong Mayit : Tiga anak wanita semua.
  • Cukil dulit : Tiga anak laki-laki semua.
  • Serimpi : Empat anak wanita semua.
  • Sarambah : Empat anak laki-laki semua.
  • Sendang kapit pancuran: Anak tiga, dua laki-laki, yang tengah wanita.
  • Pancuran kapit sendang : Anak tiga, dua wanita, yang tengah laki-laki.
  • Sumala : Anak cacat sejak lahir.
  • Wungle : Anak lahir bule.
  • Margana : Anak lahir sewaktu ibunya dalam perjalanan.
  • Wahana : Anak lahir sewaktu ibunya sedang pesta.
  • Wuyungan : Anak lahir diwaktu perang atau lagi ada bencana.
  • Julung sungsang : Anak lahir ditengah hari.
  • Julung sarab : Anak lahir waktu matahari terbenam.
  • Julung caplok : Anak lahir disenja hari.
  • Julung kembang : Anak lahir saat fajar.

Kelompok kedua adalah sukerto karena kesalahan, meski tidak disengaja, seperti: memecahkan gandhik (alat untuk membuat jamu), menjatuhkan dandang (tempat untuk menanak nasi) saat masak nasi, serta orang yang bersiul pada tengah hari

Terakhir adalah sukerto karena sering tmendapat musibah, seperti sakit-sakitan, sering sial, sering mendapat nasib buruk, dan sebagainya.

Sebenarnya mengenai kelompok sukerto ini ada beberapa versi. Pakem Pangruwatan Murwakala menyebut ada 60 macam sukerto, sedangkan menurut Pustaka Raja Purwa terdapat 136 sukerto.

Sementara itu Sarasilah Wayang Purwa menyebut 22 sukerto, dan dalam Buku Murwokolo tertulis ada 147 macam sukerto.

Prosesi Ruwatan

Tradisi ruwatan di Candi Arjuna dataran tinggi Dieng
Upacara ruwatan di Candi Arjuna dataran tinggi Dieng (foto: nasionalisme.co)

Prosesi ruwatan biasanya menggunakan perlengkapan kain mori (putih) sepanjang tiga meter, kembang tujuh ruopa, minyak tiga macam), serta air yang diambil dari tujuh mata air.

Semua  perlengkapan, kecuali kain mori, dicampur dalam bak mandi. Tempayam drum atau lainnya.

Peserta ruwatan atau para sukerto mengenakan kemben dari kain mori, dan tanpa mengenakan perhiasan apa pun.

Khusus untuk sukerto wanita harus dalam kondisi bersih atau tidak sedang datang bulan.

Selanjutnya, para sukerto melakukan siraman di halaman rumah tanpa atap.

Prosesi biasanya dipimpin oleh dalang ruwat yang nantinya akan menggelar pertunjukan wayang dengan lakon Murwakala.

Baca juga :

Tinggalkan komentar