Paku Buwono VI dan Strategi Dua Muka Melawan Belanda

oleh
oleh
Kisah Paku Buwono VI
Kisah Paku Buwono VI

Sri Susuhunan Paku Buwono VI: Wahai kawulaku, warga Nusantara. Aku rajamu, kurelakan pecahnya kepalaku dan tumpahnya darahku lewat senapan Baker Rifle dari tangan angkara penjajah Belanda demi cita-cita kemerdekaanmu…”

Pangeran Diponegoro ditangkap pasukan Belanda pada 28 Maret 1830.

Raja Surakarta Paku Buwono VI merasa harapannya untuk mengusir Belanda lepas sudah.

Sang Raja tahu, dalam waktu dekat penangkapan Pangeran Diponegoro akan terjadi padanya..

Maka, malam itu, 6 juni 1830,  raja berjuluk Banguntapa itu diam-diam menuju Parangtritis.

Pantai Selatan Pulau Jawa itu selama ini memang menjadi tempatnya menenangkan diri ketika pikirannya kalut.

Pada saat yang sama, pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sollewijn terus-menerus berusaha menangkapnya.

Pemerintah Belanda sudah lama curiga bahwa selama ini Paku Buwono berperan besar membantu perlawanan Diponegoro yang masih terhitung pamannya itu.

Ketika mata-mata yang disebar pihak Belanda melaporkan keberadaan Paku Buwono VI, Letnan Kolonel Sollewijn pun langsung memimpin sendiri pasukannya.

Sang Raja akhirnya ditangkap di Mancing, tak jauh dari tempatnya bersemedi, tanpa perlawanan.

Kisah Paku Buwono VI
Kisah Paku Buwono VI

Peran Ganda Paku Buwono VI

Meski tidak nyata-nyata melawan Pemerintah Belanda, namun bukan berarti Paku Buwono VI sepakat dengan keberadaan kolonial.

Di pihak lain, Raden Mas Sapardan, nama kecil Pakubuwono VI, diam-diam selalu membantu Diponegoro yang secara terang-terangan melawan Belanda.

Paku Buwono misalnya, mematuhi Pemerintah Belanda untuk mengirimkan pasukannya menghadapi pasukan Diponegoro di Kedu.

Namun, pemimpin pasukan, Pangeran Kusumo Yudo, atas perintahnya membelokkan pasukannya untuk memerangi pasukan kecil pribumi yang melawan Belanda.

Bukan pertempuran yang sungguh-sungguh karena pasukan Kusumo Yudo bertempur dengan cara menembakkan senjata ke atas, tidak kearah musuh.

Residen Belanda di Surakarta, Nahuys, telah lama mencurigai posisi Paku Buwono VI.

Dia sempat mengusulkan agar Paku Buwono VI dilengserkan, namun usulan itu ditolak oleh Gubernur jenderal di Jakarta.

Peran ganda Sang Raja terus berlanjut.

Djatikusumo dalam buku “Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Hari Ini dan Hari Esok”, 1983, menulis bahwa Raja Surakarta itu beberapa kali mengirimkan pasukannya dengan dalih membantu Belanda.

Namun, kenyataannya pasukan dialihkan untuk membantu perlawanan Diponegoro.

Kisah pembelotan yang lain, suatu saat Pangeran Diponegoro menyusup ke keraton menemui Pakubuwono VI.

Residen Surakarta yang curiga langsung mengirimkan pasukan untuk mengepung keraton.

Namun, sesampai di sana mereka justru menemukan Sang Raja dan Diponegoro tengah bertarung.

Sang Pangeran kemudian berhasil melarikan diri.

Raja Surakarta kemudian memaki-maki komandan pasukan yang dianggap menjadi penyebab Diponegoro kabur.

“Keduanya terpaksa berpura-pura berkelahi karena tertangkap basah pasukan sedang menyusun strategi,” tulis Syahban Yasasusastra, dalam “Ranggawarsita Menjawab Takdir”, 2008.

Sejarah yang ditulis Pemerintah Belanda menilai Paku Buwono tidak memiliki sikap yang jelas antara mendukung Belanda atau Diponegoro.

Namun, versi Keraton Surakarta menegaskan bahwa Sang Prabu jelas berada di pihak Diponegoro.

Selain di keraton, beberapa kali Paku Buwono VI melakukan pertemuan rahasia di hutan Krendawahana, 20 kilometer utara keraton.

Paku Buwono VI bahkan beberapa kali memberikan pusaka keraton kepada keponakannya itu, salah satunya Kyai Sandanglawe.

Dibuang ke Ambon

Dari Parangtrisitis, Belanda membawa Paku Buwono VI ke Semarang sebelum akhirnya diadili di Jakarta.

Pada 8 Juli 1830, Sang Raja dinaikkan kapal Roepel menuju Ambon.

Raja yang hanya berkuasa  selama 7 tahun tahun itu meninggal dunia secara misterus di pengasingan.

Paku Buwono VI naik tahta pada 15 September 1823 saat usianya masih 16 tahun,  menggantikan ayahnya, Paku Buwono V.

Ia merupakan anak laki-laki ke-11 dari selir  Raden Ayu Sosrokusumo karena dua permaisuri Paku Buwono V tidak memberikan keturunan.

Pengangkatannya sebagai raja sempat menjadi polemik internal keraton.

Sebagai putra seorang selir, Paku putra Buwono V dinilai tidak sah menjadi raja.

Menurut undang-undang keraton, ketika permaisuri raja tidak mempunyai putra, maka yang berhak atas naik tahta adalah adik raja yang lahir dari permaisuri yang sama, yaitu Raden Mas Malikis Solikin alias Pangeran Purbaya.

Adalah Patih Sosrodiningrat II yang membujuk Pemerintah Belanda untuk mengangkat  Raden Mas Sapardan menjadi Paku Buwono VI.

Tidak heran jika selama pemerintahannya, Raden Mas Malikis Solikin yang tidak lain pamannya sendiri terus menerus merongrong singgasana Paku Buwono VI.

Konon, terungkapnya peran Paku Buwono VI membantu Diponegoro salah satunya karena laporan dari Pangeran Purbaya.

Kelak, Pemerintah Belanda memberi hadiah Pangeran Purbaya dengan mengangkatnya menjadi Raja Surakarta dengan gelar Paku Buwono VII.

Babad Jaka Tingkir

Selama 19 tahun bekas Raja Surakarta itu hidup dalam pengasingan di Batu Gajah, Ambon.

Ia sempat menulis ulang cerita sejarah Jawa “Babad Jaka Tingkir”, sebuah karya yang kelak membuat seorang peneliti naskah-naskah kuno, Nancy K Florida, terpesona.

Indonesianis asal Amerika Serikat itu membahas “Babad Jaka Tngkir” melalui desertasinya di Universitas Cornell, “Writing the Past Inscribing the Future: History as Prophecy in Colonial Java”.

Di Pengasingan, Paku Buwono sempat melanjutkan perjuangannya melawan Belanda.

Dia mencoba melarikan diri untuk bergabung pasukan Sultan Ternate pada 3 Juni 1949. Namun, pasukan Belanda kembali berhasil menangkapnya.

Sampai suatu hari,  2 Juni 1849, raja yang dibuang itu ditemukan meninggal dunia.

Laporan resmi Pemerintah Belanda menyebutkan  Pakubuwono VI tewas akibat kecelakaan di laut.

Jasadnya dimakamkan di Ambon.

Ketika makamnya dibongkar untuk dipindahkan ke makam raja-raja Mataram di Imogiri, pada 1957, misteri kematiannya terungkap.

P Swantoro, dalam “Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu”, 2002, menulis diitemukan lubang seukuran peluru tepat di tengah dahi tengkorak Sang Raja.

Tujuh tahun setelah jasadnya dikuburkan kembali di Imogri, Yogyakarta, Presiden  Soekarno menetapkan Pakubuwono VI sebagai pahlawan nasional.

Penetapan dituankan dalam Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 294 tertanggal 17 November 1964, yang kemudian disiarkan pada 10 Desember di Balaikota Kotamadya Surakarta.(*)

Baca juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.