
“Desa Harus Jadi Kekuatan Ekonomi
Agar Warganya Tak Hijrah Kekota
Sepinya Desa Adalah Modal Utama
Untuk Bekerja Dan Mengembangkan Diri”
Cuplikan tembang Desa besutan iwan fals di atas, bisa menjadi gambaran nyata bahwa sebenarnya wilayah pedesaan yang luas di Indonesia bisa dijadikan sebagai “lahan” untuk memajukan negeri. Siapapun bisa berkarya dan berperan atas kemajuan desa, dengan berbagai cara dan upaya, termasuk dengan pemanfaatan teknologi informasi yang hingga kini semakin mudah dan murah.
Menurut Permendagri No. 54 Tahun 2015, jumlah desa di Indonesia saat ini adalah 74.754 sedangkan jumlah kelurahan yang berada di perkotaan adalah 8.430, adapun total jumlah penduduk Indonesia adalah 255.153.932 jiwa.
Pada tahun 2012 lalu, Kompas.com telah memuat berita bahwa jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan diperkirakan telah mencapai 54 persen. Artinya hanya sekitar 46 persen dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia yang tersebar di banyak desa. Menurut penulis, itupun kemungkinan desa banyak dihuni oleh para orang tua dan anak-anak, karena para pemuda yang memiliki produktivitas tinggi pada hijrah ke kota.
Tak dapat dipungkiri, semakin gencarnya urbanisasi menjadikan desa semakin sepi. Masalah ekonomi selalu menjadi alasan utama para pemuda desa mengadu nasib ke kota. Gengsi jadi petani, lahan subur hanya dikelola oleh mereka yang berusia uzur. Minimnya akses belajar dan pendidikan memperkuat alasan mereka; kota adalah satu-satunya tempat masa depan yang akan menjadikan hidup bahagia-sejahtera.
Dari Budaya Merantau Hingga Merintis Rumah Baca
Budaya merantau memang hampir terjadi di semua wilayah Indonesia, tak terkecuali bagi warga Desa Pentur, Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali. Para remaja yang lulus sekolah bisa dipastikan akan berbondong-bondong mengais rejeki di kota. Di sana ada banyak pilihan pekerjaan, entah sebagai pedagang, buruh pabrik, kuli bangunan, pembantu rumah tangga, ataupun sebagai cleaning service. Desa Pentur yang dulu dikenal sebagai sentra pengrajin bambu-pun kian luntur.
Menjadi “gila” itu penting untuk bisa berkembang di “lahan kering”. Itulah yang telah dilakukan oleh beberapa pemuda yang mencoba memberdayakan diri dan kampung halamannya melalaui rumah baca Tumpi yang dirintis tahun 2012 lalu. Hanya dengan bermodal media sosial, mereka telah berhasil mengumpulkan ribuan buku untuk bisa dibaca anak-anak dan warga setempat.

Selain memberikan akses baca secara gratis selama 24 jam, di rumah baca Tumpi juga menyelenggarakan berbagai kegiatan seperti acara diskusi, pemutaran film, melukis bersama, dan pemberdayaan masyarakat lainnya. Berbagai kegiatan ini dilakukan mengingat budaya baca bisa dibilang masih sangat minim bagi masyarakat pedesaan.
Penyebaran informasi kegiatan secara konvensional seperti membuat poster dan materi publikasi lain sangat mahal dan hanya akan menjadi sampah. Oleh karena itu berbagai kegiatan di Tumpi banyak dilakukan melalui blog dan jejaring sosial, dampaknya justru seringkali peserta yang hadir bisa dari luar daerah seperti Solo, Jogja, Semarang, Salatiga, dan lain-lain.

Peran Teknologi Informasi
Melihat pentingnya sarana komunikasi seperti internet, maka pada tahun 2015 pengelola Tumpi memberanikan diri untuk memasang jaringan internet melalui layanan ISP. Dengan mendirikan tower 20 meter dan dilengkapi layanan wifi, perpustakaan desa ini sekarang juga menyediakan akses bacaan melaui media online. Pengelola perpus-pun sangat diuntungkan, karena hingga kini mampu bertahan hidup dari beberapa blog yang dibuat, maklum dari pemerintah juga tidak ada anggaran untuk gaji pengelola ataupun fasilitas perpustakaan desa.
Adanya akses internet di rumah baca ternyata memberi dampak positif bagi perkembangan perpustakaan. Para pengunjung bisa datang membawa perangkat laptop ataupun smartphone-nya untuk update berbagai informasi. Beberapa warga juga memanfaatkan akses internet tersebut untuk belajar pertanian melalui youtube dan blog. Bahkan pada kegiatan-kegiatan tertentu pengelola melakukan pemutaran film edukasi untuk anak-anak dengan cara streaming.

Meningkatkan budaya baca pada masyarakat memang bukan perkara mudah, apalagi budaya menulis. Meski demikian usaha untuk memajukan budaya literasi di desa terus dilakukan meski harus terseok-seok. Untuk memfasilasi ruang menulis bagi para remaja, maka pengelola menyediakan domain dan hosting tumpi.org. Namun sayang, hingga kini budaya menulis belum bisa terbentuk dengan baik, meski pelatihan menulis sudah beberapa kali dilakukan.

Tumpi Readhouse fokus pada pendidikan anak dan lingkungan
Tanggal 12 Juli 2016 lalu rumah baca Tumpi telah genap berusia empat tahun, berbagai kegiatan telah dilakukan dan akhirnya Tumpi telah menemukan bentuknya, yakni sebagai ruang interaksi yang fokus pada pendidikan karakter pada anak-remaja dan juga pelestarian lingkungan hidup. Berbagai kegiatan yang akan dilakukan tentu akan mengacu pada dua hal tersebut, yakni tentang anak-remaja dan lingkungan.
Sebagai usaha pelestarian lingkungan, di hari ulang tahun Tumpi anak-anak dan remaja melakukan penanaman pohon di sekitar sendang (mata air) desa. Penanaman pohon ini merupakan kampanye Ulang Tahun Hijau yang dilakukan Tumpi, siapapun yang sedang berulang tahun harus menanam minimal satu batang pohon.

Gerakan Ulang Tahun Hijau telah lama dilakukan oleh Tumpi melalui media sosial. Setiap bulannya Tumpi harus menyediakan setidaknya 10 bibit pohon untuk diberikan pada anak-anak maupun remaja di sekitar rumah baca yang akan merayakan ulang tahun.
Selain penanaman pohon sebagai penanda ulang tahun, salah satu kegiatan yang dilakukan saat ulang tahun yang ke-4 adalah bincang digital dengan target peserta para remaja. Acara ini dilakukan untuk memberi gambaran pada generasi muda tentang pemanfaatan internet khususnya blog dan media sosial. Acara ini bekerjasama dengan BIDIG Pakem Solo dengan narasumber para admin media sosial @solothok, @soloinfoid @agendasolo dan @eventsolo.

Guyub Bocah
Mendidik karakter anak bisa dibentuk melalui interaksi dengan anak lain. Untuk itu Tumpi bergabung dengan forum anak Guyub Bocah yang digagas oleh Yayasan Satunama Yogyakarta. Dengan memanfaatkan akses informasi yang semakin mudah, mempertemukan anak dari beberapa daerah Jateng-DIY bisa dilakukan. Mereka bisa berkumpul, bergaul, dan saling mempelajari budayanya masing-masing.

Mendidik anak untuk cinta lingkungan memang menjadi tanggung jawab kita bersama. Kegiatan penanaman 3.000 pohon oleh anak-anak dan remaja Tumpi juga dilakukan pada bulan September-Oktober 2016. Bibit pohon tersebut ditanam di area dua dukuh yang terdiri dari 6 RT di Desa Pentur. Bibit pohon diperoleh dari Balai Pembenihan Tanaman Hutan (BPTH) Provinsi Jawa Tengah.
Teknologi Informasi dan Komunikasi hingga nanti akan terus berkembang. Bisa memanfaatkan teknologi secara bijak tentu akan mampu mengubah lingkungan sekitar, Indonesia, dan semesta menjadi lebih baik. Mari berbuat, merekam dan sebarkan energi positif..!
Baca juga : Peran Penting Perpustakaan Bagi Manusia dan Kehidupan
Link Sumber :
https://www.kemendagri.go.id/basis-data/2015/03/02/permendagri-ri-no56-tahun-2015-tentang-kode-dan-data-wilayah-administrasi-pemerintahan (diakses tanggal 6/10/2016 Pkl. 12:53 WIB)
https://nasional.kompas.com/read/2012/08/23/21232065/%20Hampir.54.Persen.Penduduk.Indonesia.Tinggal.di.Kota
Benar-benar menginspirasi… tidak ada perjuangan yang sia-sia. Semoga tumpi terus berkarya dan bermanfaat bagi orang banyak.
wah mantab. selamat telah menjadi pemenang
Terima kasih, maturnuwun sudah bersedia mampir di blog ini. moga saja sewa mobilnya juga makin laris manis 🙂