Malam Satu Suro, Saatnya Intropeksi Diri Bagi Manusia Jawa

Desember hampir berakhir. Artinya, kita akan menghadapi detik-detik pergantian tahun malam satu suro. Pergantian tahun baru pada 31 Desember yang biasanya dirayakan dengan beragam kemeriahan ini memang fenomenal. Tak hanya masyarakat Indonesia, hampir semua penduduk dunia biasanya merayakan pergantian akhir tahun dengan berbagai cara seperti pesta dan lainnya.

Masyarakat Jawa pun juga memiliki peringatan pergantian tahun yang biasa disebut satu suro. Namun berbeda, pergantian akhir tahun di Jawa tidak dirayakan secara meriah dengan beragam pesta seperti tahun baru pada kalender masehi. Peringatan malam satu suro biasanya dilakukan dengan beragam tirakat atau menepi. Bahkan dulu masyarakat Jawa mengidentikan malam satu suro sebagai malam keramat.

Saatnya Intropeksi Diri

Intropeksi Diri Bagi Manusia Jawa/ilmukejawen.com
Intropeksi Diri Bagi Manusia Jawa/ilmukejawen.com

Saat malam 1 Suro tiba, masyarakat Jawa biasanya melakukan ritual tirakatan sebagai bentuk introspeksi diri menyambut kehidupan selanjutnya. Beberapa orang memilih menyepi di tempat-tempat sakral seperti puncak, gunung, tepi laut dan pohon besar.

Ritual seperti ini dikenal masyarakat Jawa sejak masa pemerintahan Sultan Agung 1613-1645 Masehi. Saat itu masyarakat Jawa masih mengikuti sistem penanggalan tahun Saja dari tradisi Hindu. Sementara itu umat Islam menggunakan sistem kalender Hijriah. Sebagai upaya memperluas ajaran Islam di tanah Jawa, Sultan Agung memadukan tradisi Jawa dan Islam dengan menetapkan 1 Muharam sebagai tahun baru Jawa.

Tradisi Malam Satu Suro

Malam Satu Suro di Solo/solopos.com
Malam Satu Suro di Solo/solopos.com

Di Solo, tradisi ini dirayakan dengan berbagai kirab dan bersih-bersih pusaka keraton, Keraton Kasunanan maupun Mangkunegaran. Kirab 1 Suro di Keraton Kasunanan dipimpin oleh kebo Bule Kyai Slamet. Ia mengelilingi sepanjang jalan Slamet Riyadi diikuti prajurit dan petinggi keraton. Sementara di Mangkunegaran peringatan 1 Suro hanya dilakukan dengan kirab di sekeliling pura dan tapa bisu.

Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk meningkatkan kewaspadaan dan melakukan introspeksi diri. Maka tak heran jika tirakatan Suro tak hanya dilakukan pada pergantian tahun melainkan sebulan penuh. Bahkan ada pantangan bepergian dan melakukan pesta pernikahan di Bulan Suro. Kemeriahan pernikahan di Bulan Suro dianggap berlawanan dengan ketenangan bulan Suro.

Baca Juga : Kebo Bule Kyai Slamet, Pusaka Hidup Keraton Surakarta

Tinggalkan komentar