Kisah Cinta Soekarno dengan Istri-istrinya

Soekarno menceraikan istri pertamanya, Siti Oetari, di tengah perbedaan pandang politik dengan sang mertua, Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto. Pada saat yang sama, ia juga sedang jatuh cinta pada Inggit Ganarsih, ibu kos-nya di Bandung.

“Keputusan siapa ini?” tanya Tjokroaminoto saat mendengar Soekarno akan menceraikan Oetari, anaknya. Tjokroaminoto pantas merasa kaget. Sebab, selama ini dia melihat hubungan antara Soekarno dan Oetari baik-baik saja.

Dengan wajah menunduk, Bung Karno menjawab bahwa dia terpaksa mengambil keputusan itu demi kebaikan mereka berdua. Alasannya, “Dari awal, pernikahan kami tidak berjalan baik. Tidak akan ada kebahagiaan di rumah tangga kami.”

Cindy Adams, dalam biografi “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”,  (1966) menulis pengakuannya; “Oetari bukan wanita yang tepat untukku. Aku hanya punya waktu sedikit untuknya. Aku mendambakan istri yang bisa menjadi seorang ibu, kekasih, dan seorang teman. Oetari tidak bisa.”

Oetari adalah putri sulung Cokroaminoto, guru para tokoh pergerakan Indonesia. Ketika pertama kali bertemu, Soekarno baru 18, dan Oetari 14 tahun. Keduanya bertemu saat Soekarno bersekolah di Hogere Burger School (HBS), Surabaya.  Ia menumpang di rumah Cokroaminoto sekaligus untuk belajar politik pada tokoh yang kelak mendirikan Serikat Islam itu.

HBS merupakan sekolah menengah zaman Belanda khusus untuk orang Belanda, Eropa atau priyayi pribumi. Sekolah ini ditempuh selama lima tahun, setara dengan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) sampai Algemene Middelbare School (AMS) atau SMP hingga SMA pada masa sekarang.

Dalam buku “Istri-Istri Soekarno” yang disusun Reni Nuryanti, Bung Karno langsung tertarik pada pertemuan pertama dengan Oetari. Setiap hari bertemu membuat keduanya semakin dekat. Bisa ditebak, keduanya kemudian saling jatuh cinta. Soekarno bahkan mempunyai panggilan istimewa untuk Oetari, yaitu Lak.

Pernikahan Pertama Soekarno

Kisah Cinta Soekarno dengan Istri-istrinya
Soekarno dan keluarga Inggit Garnasih/Wikipedia

Suatu hari, Bung Karno mengajak jalan-jalan Oetari. Di sbuah taman sambl menikmati  senja,  Bung Karno memandangi wajah rupawan Oetari.

“Lak, tahukah engkau bakal istriku kelak?”

Oetari menatap wajah Soekarno dengan raut bingung. Lalu ia menggeleng.

“Kau ingin tahu?”

“Di mana?” Oetari akhirnya penasaran.

“Kau ingin tahu? Boleh. Orangnya dekat sini. Kau tak usah beranjak karena orangnya ada di sebelahku,” ujar Bung Karno.

Oetari menyangka Soekano akan mengatakan itu. Gadis kecil itu rupanya juga menyimpan kesan baik terhadap Bung Karno.

Sejak itu, hubungan kedua semakin dekat. Tjokroaminoto pun tidak marah atau melarang.  Hubungan sebagai murid dan guru antara Soekarno dan Tjokroaminoto pun tetap terjaga. Soekarno bahkan terlihat semakin semangat beajar dan memberi perhatian lebih pada guruya.

Pernikahan Soekarno-Oetari berawal ketika istri Tjokroaminoto, Suharsikin, meninggal dunia pada 1919. Meninggalnya Suharsikin benar-benar mengguncang hidup Tjokroaminoto dan Oetari. Tjokro sempat kehilangan semangat, dan Oetari terus-menerus mengurung dalam kamar merasakan kesedihan.

Melamar Oetari

Hingga suatu hari paman Oetari bertanya pada Bung Karno soal hubungan khusudnya dengan Oetari. Jika Bung Karno memiliki perhatian dengan Oetari, kata Sang Paman, mengapa keduanya tidak menikah saja?  Pernikahan bisa menyelamatkan Oetari dari kemurungan hatinya.

Soekarno sempat ragu. Bukan karena tidak mencintai Oteari, tapi karena pertimbangan usia mereka yang masih sangat muda. Namun, Bung Karno akhirnya bersedia menikahi Oetari.  Seperti dicatat Cindy Adams, Soekarno yang baru genap 20 tahun menikahi Oetari yang berusia 16 tahun pada 1921.

“Aku mendatangi Pak Cokro dan mengajukan lamaran. Dia menyambu lamaranku dengan gembira. Sampai meninggalnya, Pak Tjokro tidak pernah tahu bahwa aku menikahi anaknya karena rasa hormat dan kasihanku kepadanya setelah ditinggal ibu (istri Tjokroaminoto),” kata Soekarno.

Bung Karno menyebut pernikahan mereka dengan istilah “kawin gantung”.  Pernikahan seperti ini biasa dilakukan saat kedua mempelai masih sangat muda. Bisa untuk menjamin ikatan perjodohan, atau menghindarkan perzinahan.

“Aku tidur seranjang dengan Oetari, tapi aku tidak pernah menyentuhnya. Dia masih sangat kanak-kanak,” ujarnya.

Pertemuan Soekarno dengan Inggit

Menjadi menantu Tjokroaminoto, aktivitas politik Soekarno semakin bertambah. Ia menjadi  “ajudan” yang selalu mengikuti Tjokroaminoto pergi. Hampir setiap hari, sepanjang malam, Soekarno muda berada di dekat mertua sekaligus gurunya itu. Dari Tjokroaminoto Soekarno semakin mengakrabi buku-buku. Ia juga belajar cara berpidato seperti pesan Tjokroaminoto.

“Jika kalian ingin  menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator.”

Aktivitas Bung Karno yang padat diaperlahan mulai menyingkirkan posisi Oetari di hatinya. Sampai akhirnya Soekarno harus melanjtkan kuliah ke Technische Hogeschool (HBS, sekarang Intitut Teknologi Bandung, ITB). Sukarno masih berumur 21 tahun saat tiba di Bandung.

Ia pergi tanpa membawa Utari. Metuanya menitipkan Bung Karno di rumah sahabatnya, Haji Sanusi yang merupakan anggota pergerakan Sarikat Islam Indonesia. Itulah pertemuan pertama Bung Karno dengan Inggit Ganarsih, induk semang sekaligus istri Haji Sanusi.

Novel karya Ramadhan KH “Kuantar Kau ke Gerbang” menggambarkan dengan baik  kisah asamara Sang Proklamator dan Inggit. Inggit, menurut novel itu, sebelumnya sering mendengar nama Bung Karno. Dalam pertemuan pertama mereka, Inggit pun sudah terkesan.

“Wajahnya tampan, dan gayanya perlente,” ujar Inggit.

Oetari Terabaikan

Ramadhan menulis setelah beberapa kali berbincang, Inggit semakin tertarik dengan Soekarno. Menurut Inggit, pemuda dengan nama kecil Koesno itu adalah pria cerdas, pandai bergaul, ramah, dan periang.

Soekarno pun memiliki kesan yang sama. Cyndy Adam menulis pengakuan Bung Karno; “Saat pertama aku melangkah masuk rumah Haji Sanusi, aku berkata dalam hati,’Oh, luar biasa perempuan ini’. Tapi dia istri Haji Sanusi, dan aku sudah menikah. Aku kuliah, bukan merusak rumah tangga orang lain,” kata Bung Karno dalam biografi itu.

Setelah satu bulan di Bandung, Bung Karno meminta Oetari menyusul. Namun, Bung Karno yang sibuk kuliah dan aktif di pergerakan membuatnya tidak punya waktu untuk istrinya.

“Aku hanya punya waktu sedikit untuk Oetari. Selagi aku belajar, dia asyik bermain. Selagi aku berpidato, dia berkejaran dengan kemenakan Ibu Inggit. Kami jalan sendiri-sendiri. Dia hanya bicara seperlunya denganku,” katanya kepada Cindy Adam.

Kedekatan Soekarno-Inggit

Soekarno mengaku tak puya waktu untuk Oetari. Sebaliknya, waktusisa waktunya justru diberikan pada Inggit. Selama tinggal di rumah kost Haji Sanusi, kedekatan mereka semakin menjadi. Hampir setiap malam keduanya ngobrol sampai larut. Terlebih saat Haji Sanusi pergi atau sudah tidur.

“Apa yang dilihat Oetari selama kos di Bandung itu membuatnya gundah sekaligus cemburu.  Tapi Oetari tidak berani mengungkapkan pada suaminya. Ia justru  mengeluhkan pada ayahnya,” tulis Harian Surabaya Buana.

Kedekatan itu membuat Oetari cemburu. Pada 1922, hubungan antara Bung Karno dan Oetari merenggang. Mereka kemudian pisah ranjang.  Jurang di antar mereka semakin lebar, terlebih dengan masuknya Inggit dalam rumah tangga mereka.

Bung Karno menganggap Oetari seperti anak kecil yang tidak mampu tidak mengerti dan mengikuti jalan pikirannya. Bung Karno juga merasa tidak menemukan sosok keibuan yang didambakannya pada Oetari. Bung Karno menginginkan seorang istri yang juga bisa menjadi seorang ibu, kekasih, dan seorang teman. Di mata Soekarno, Oetari hanya punya sikap kenak-kanakan.

Sosok wanita istri dambaan itu justru ditemukan pada diri Inggit. Terlebih kondisi rumah tangga induk semaknya itu juga tidak baik. Perubahan sikap Haji Sanusi membuat Inggit kesepian.

Usia Inggit 15 tahun lebih tua dari Si Bung. Dengan usianya, Inggit terlihat jauh lebih dewasa dalam bersikap. Ia bisa menjadi seperti seorang ibu, kekasih, dan teman berbincang seperti dambaan Soekarno.

Rumah Tangga Tidak Bahagia

Kisah Cinta Soekarno dengan Istri-istrinya
Soekarno dan Ratna Sari Dewi/Wikipedia

Menurut Bung Karno dalam buku “Kisah Istimewa Bung Karno” (2010: 36), Haji Sanusi adalah seorang suami yang setiap hari menghabiskan waktunya di luar rumah untuk mengurus pergerakan. Istrinya ditinggalkan sndirian. Kehidupan rumah angga mereka sama hambarnya dengan rumah tangga Soekarno-Oetari.

“Bu Inggit kesepian. Aku kesepian. Perkawinannya tidak betul. Perkawinanku tidak betul. Adalah wajar, hal-hal yang demikian (cinta) kemudian tumbuh,” ujar Soekarno.

Menurut Soekarno, rumah tangga Inggit dan Haji Sanusi sudah hancur  jauh sebelum dia datang.

“Tiba-tiba dia sudah berada dalam rengkuhanku. Aku menciumnya. Dia menciumku. Lalu kami terperangkap satu sama lain. Semua itu terjadi selagi ia masih istri Sanusi, dan aku suami Oetari,” tulis Cyndy Adam sesuai dengan pengakuan Soekarno.

Pada akhir 1921, Tjokroaminoto ditangkap Belanda akhirna aktivita politiknya.  Soekarno pulang ke Surabaya untuk membantu meringankan beban mertuanya, sedangkan Oetari tetap di Bandung. Soekarno mengajar untuk mendapatkan penghasilan. Ia menggantikan tugas kepala keluarga yang dipenjara.

Selama tujuh bulan di Surabaya, Soekarno kembali ke Bandung pada Juli 1922. Namun, pertemuannya dengan Oetari tidak membuat hubungan mereka membaik. Soekarno sempat pulang ke Blitar untuk mengadu ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai. Ia mengeluhkan Oetari, sekaligus menceritakan Inggit, waita yang membuatnya jatuh cinta.

Kembai ke Bandung, Soekarno memutuskan untuk memulangkan Oetari kepada ayahnya. “Pak Thokro menghargai alasanku. Tapi hubunganku dengan Pak Tjokro tetap baik. Kami  tetap hangat seperti sebelumnya,” kata Soekarno.

Pada saat yang sama, Haji Sanusi mencium perselingkuhan istrinya. Dia sempat murka, namun kemudian merelakan Inggit. Inggit meminta suaminya untuk menceraikannya. Haji Sanusi pun menjatuhkan talak.

Haji Sanusi Relakan Inggit

Tidak hanya merelakan Soekarno menikahi Inggit, Haji Sanusi bahkan mendukung Soekarno menjadi pemimpin rakyat. “Aku rela kau menikah dengannya. Dampingi dan bantu dia sampai cita-citanya memerdekan negara ini tercapai,” begitu pesan Haji Sanusi.

Kepada Bung Karno, Haji Sanusi meminta agar dia mencintai Inggit dengan sebaik-baiknya. Empat bulan setelah talak Haji Sanusi jatuh, Soekarno pun menikahi Inggit pada pertengahan 1923.

Soekarno diasingkan ke Bengkulu karena aktivitas politiknya. Inggit tak pernah jauh darinya. Namun, bencana bagi Inggit datang saat Hassan Din datang ke Bengkulu bersama putrinya, Fatimah.

Oekarno langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Soekarno melukiskan Fatimah –yang kemudian namanya diganti dengan Fatmawati, sebagai seorang putri yang sangat cantik.

“Rambutnya seperti sutera dibelah tangan dan menjurai ke belakang,” katanya dalam buku “Kisah Istimewa Bung Karno”, 2010: 37-38. Inggit langsung tahu bahwa suaminya jatuh hati kepada Fatimah.

Sukarno berniat menikahi Fatmawati, tapi tak mau menceraikan Inggit. Keduanya akhirnya bercerai, dan Soekarno menikahi gadis pujaannya. First Lady melahirkan Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh. Petualangan Soekarno belum berhenti. Setelah Fatmawati, Presiden Pertama Indonesia itu juga menikahi Heldy Djafar, Yurike Sanger, Hartini, dan  Ratna Sari Dewi.

Noni-Noni Belanda

Jauh sebelum bertemu dengan Oetari dan Inggit, Bung Karno memang playboy. Tidak terhitung berapa jumlah noni-noni Belanda pernah didekati dan menjadi pacarnya. Nama-nama seperti Paulina Gobee, Rika Meelhuysen, Laura, dan Mien Hessels adalah gadis-gadis Belanda yang pernah dekat dengan Soekarno.

“Pada usia 14 tahun, Bung Karno pertama kali mencium teman wanitanya. Namanya Rika Meelhuysen,” tulis Wardoyo, kakak Soekarno, dalam buku “Bung Karno Masa Muda”,  Pustaka Yayasan Antar Kota Jakarta, 1978.

Tapi, dari banyaknya teman wanita itu, hanya satu yang membuatnya nekat melamar. Gadis itu Mien Hessels, temannya di Hogere Burger School.

“Aku memang sangat tertarik dengan noni-noni Belanda itu. Aku ingin memacari mereka. Bagiku, itulah satu-satunya jalan mengungguli bangsa kulit putih . Merebut hati gadis-gadis HBS yang cantik itu merupakan caraku bersaing dengan pria-pria berkulit putih yang kerap mengejekku dengan kata inlander,” kata tokoh revolusi kemerdekaan itu.

Saking cintanya dengan dengan Mien Hessels, Bung Karno pun nekad melamar. Mengenakan baju dan sepatu paling bagus yang dimiliki, Soekarno menenui ayah Mien. Ia menyampaikan keinginannya. Tak hanya ditolak, Soekarno juga menerimaan hinaan dari ayah Mien. (*)

 

Tinggalkan komentar