Sebagian masyarakat Muslim di dunia merayakan Maulid Nabi atau kelahiran Nabi Muhammad SAW pada 12 rabiul awal sebagai tradisi islam yang disambut dengan suka cita. Perayaan maulid nabi ini dirayakan di banyak negara dengan penduduk mayoritas Muslim di dunia. Ini juga dilakukan negara lain yang memiliki komunitas muslim seperti India, Britania Raya, Rusia dan Kanada. Kendati dirayakan suka cita oleh semua umat muslim, pada hari Maulid Nabi di Negara Arab yang merupakan pusat Agama Islam, tidak ada libur nasional. Sebagian umat Islam menilai maulid nabi seharusnya dijadikan sebagai cara introspeksi diri dengan menepi atau beribadah lebih khusyuk lagi.
Sementara di Indonesia, Maulid Nabi, diperingati dengan berbagai acara keagamaan seperti pengajian, salawatan, pembacaan syair Barzanji dan lainnya. Tak hanya milik umat muslim, perayaan ini juga milik masyarakat Jawa secara umum. Menurut penanggalan Jawa, bulan Rabiul Awal atau bulan Maulid Nabi disebut dengan Muludan. Masyarakat Solo mengenal dengan acara Muludan yang kemudian dirayakan dengan berbagai acara termasuk adanya gamelan sekaten.
Konon muludan ini awalnya dikenalkan pada masa kerajaan Demak oleh Walisongo kemudian dilanjutkan oleh keraton. Muludan digunakan sebagai cara dakwah Islam kepada masyarakat Jawa. Dengan pendekatan budaya, pihak keraton yakin Islam lebih mengena di hati masyarakat. Terbukti, tradisi Muludan yang juga disebut dengan Grebeg Muludan ini selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat Solo dan sekitarnya. Pada era sekarang tradisi islam Grebeg Muludan diadakan oleh Keraton Kasunanan dengan serangkaian acara mulai sekatenan, gamelan sekaten hingga di puncak acara digelar grebeg muludan.
Sekaten
Sekaten atau upacara sekaten berasal dari kata Syahadatain atau kalimat syahadad. Acara ini merupakan acara peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW yang diadakan setiap tanggal 5 bulan Jawa Mulud atau Rabiul Awal. Acara diadakan di alun-alun utara Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Dulunya setelah Walisongo pada masa kerajaan Demak, Sultan Hamengkubuwana I, juga menggunakan tradisi ini sebagai media syiar agama Islam.
Upacara sekaten dibagi dalam beberapa hari. Hari pertama diadakan upacara malam hari diawali dengan iring-iringan abdi dalem yang membawa dua set gamelan Jawa yaitu Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Iring-iringan ini bermula dari pendapa Ponconiti menuju masjid Agung di Alun-alun Utara dengan dikawal oleh prajurit Keraton.
Gamelan Kyai Nogowilogo diletakkan di sisi utara Masjid Agung sementara Kyai Gunturmadu diletakkan di Pagongan sebelah selatan masjid. Kedua set gamelan ini akan dimainkan secara bersamaan selama tujuh hari berturut-turut oleh abdi dalem keraton. Gamelan dimainkan hingga tanggal 11 bulan Mulud. Pada malam terakhir, kedua gamelan kembali dibawa pulang ke dalam keraton.
Konon, gamelan sekaten Surakarta bukan berasal dari Demak atau Pajang. Sejak Pangeran Hadipati Benawa di Pajang, hingga Prabu Hanyakrawati Sedo Krapyak gamelan sekaten tidak dibunyikan tetapi masih disimpan di Demak. Setelah kerajaan Mataraam berdiri dengan Rajanya Sultan Agung Hanyakrakusuma, maka dibuatlah Gamelan baru dengan ditandai Candra Sengkala Rerengan Nanas Tinata ing Wadah. Pada masa Mataram kerajaan dipecah menjadi dua yakni kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, dan pada waktu itulah gamelan juga dipecah menjadi dua.
Kasultanan Yogyakarta mendapat bagian bonang, demung, saron, gong, sedangkan sisanya berada di Kasunanan Surakarta. kemudian setelah PB IV bertahta. Sisa gamelan tersebut kemudian dilengkapi dengan memesan satu gamelan baru yang lebih besar dua gamelan itu yang diberi nama Kyai Nogowilogo dan Gunturmadu. Jadi, asal mula gamelan sekaten Surakarta yakni separuh peninggalan Sultan Agung dengan nama Kyai Guntur Sari dan gamelaan ciptaan PB IV bernama Kyai Guntur Madu.
Grebeg Mulud
Grebeg mulud ini merupakan puncak acara sekaten atau Muludan. Dua hari sebelum grebeg, diadakan acara tumplak wajik. Acara ini digelar di halaman istana Magangan pada pukul 16.00 sore. tumplak wajik merupakan acara kotekan atau permainan lagu dengan memakai kentongan, lumpang dan lainnya. Lagu-lagu yang dimainkan adalah lagu Jawa popular seperti Lompong Keli, Tundhung Setan, Owal Awil, dan lagu rakyat lainnya.
Sementara, acara puncak grebeg Muludan dimulai Pukul 08.00 WIB tanggal 12 Robiul Awal. Sebuah gunungan yang terbuat dari beras, makanan dan buah-buahan serta sayur-sayuran akan dibawa dari istana kerajaan Mataram kemudian dibagikan kepada masyarakat. Prosesi ini dikawal oleh 10 kompi prajurit keraton yang terdiri dari Wirabraja, Daeng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama, Nyutra, Ketanggung, Mantrijero, Surakarsa, dan Bugis.
Masyarakat percaya, bahwa Gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah atau lading supaya terhindar dari malapetaka serta menyebabkan tanah menjadi subur untuk ditanami. Setelah dibawa dari keraton menuju alun-alun, gunungan ini biasanya langsung diserbu oleh masyarakat yang ingin mengambil dan membawanya pulang sebagai pembawa berkah.
Meski grebeg mulud telah berakhir, sekatenan ini masih terus berlanjut hingga akhir bulan dengan adanya malam sekatenan di alun-alun utara. Saat malam sekatenan ini alun-alun utara keraton disulap menjadi arena bermain anak-anak. Berbagai wahana bermain anak-anak tersedia. Para penjaja wahana ini berasal dari luar Solo. Tak hanya itu, mereka juga menyediakan makanan khas tradisional seperti onde-onde, jenang, dan lainnya. Banyak juga pedagang yang menjajakan gerabah serta pakaian. Malam sekaten ini menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat sekitar.
Di Solo, tradisi islam Grebeg Mulud ini sudah menjadi agenda rutin Pemkot Solo. Hampir setiap tahun acara ini selalu ada. Ribuan masyarakat memadati kompleks sekaten mulai awal di buka hingga selesai. Jumlahnya semakin meningkat saat puncak grebeg mulud.
Baca Juga : Ini Agenda Budaya Solo yang Rutin Di Gelar Sepanjang Tahun