Grebeg Sudiro, Menghapus Sekat Jawa-Tionghoa

oleh
oleh
Grebeg-Sudiro

DI Kota Solo, Jawa Tengah, tradisi perayaan menyambut datangnya tahun baru China atau imlek itu bernama Grebeg Sudiro. Sebuah ritual mengarak gunungan kue keranjang mengelilingi kampung Sudiroprajan dan berakhir tepat di depan Pasar Gede.

Kampung Sudiroprajan sendiri merupakan kampung pecinan di Solo, di mana Pasar Gede termasuk di dalamnya.

Tepat di depan pintu utama pasar berdiri Klenteng Tien Kok Sie yang merupakan klenteng terbesar di Solo.

Ritual tahunan Grebeg Sudiro ini sebenarnya baru dimulai dalam empat tahun terakhir.

Namun jauh sebelum Grebeg Sudiro, warga Kampung Sudiroprajan telah memiliki sedekah bumi “Buk Teko”, sebuah tradisi yang sudah berjalan puluhan tahun untuk menyambut imlek, yang merupakan cikal bakal dari ritual Grebeg Sudiro.

Menariknya, tradisi baru yang menjadi bentuk konkret atas pembauran budaya antara tradisi Jawa dan Tionghoa ini bukan dicetuskan oleh pemerintah setempat, melainkan dari warga kampung, para seniman, tokoh masyarakat dan aparat kelurahan.

Di Kampung Sudiroprajan, harmonisasi memang telah lama terjadi antara warga peranakan Tionghoa dan pribumi (Jawa). Perkawinan antara mereka telah menjadi sebuah peristiwa yang biasa.

“Mereka saling menikah dan beranak pinak sejak dulu. Masyarakat Sudiroprajan ingin menunjukkan semangat pembauran itu dalam sebuah acara merayakan Imlek,” kata seorang tokoh Kampung Sudiroprajan Sarjono Lelono Putro.

Kemeriahan Grebeg Sudiro di Pasar Gede Solo
Kemeriahan Grebeg Sudiro di Pasar Gede Solo (Foto: DIPARTA Solo)

Akulturasi di Kampung Sudiroprajan –lewat Grebeg Sudiro—barangkali ibarat ampyang, panganan dengan rasa manis yang mantap, terbuat dari gula jawa dengan taburan kacang China.

“Grebeg Sudiro ini salah satu bentuk pembauran antara etnik Jawa dan Tionghoa. Bukan hanya orangnya yang membaur, tetapi juga seni dan budayanya. Ini memang seperti kue ampyang di mana kacangnya adalah etnik Tionghoa dan gulanya etnik Jawa,” ujar ketua penyelenggaran Yunanto Nugroho.

Pesta Lampion

Kembali ke Grebeg Sudiro, ritual ini berlangsung Minggu (30/01) sore.

Diawali dengan kirab dua gunungan kue keranjang dari depan Pasar Gede. Kawasan ini mendadak menjadi oriental dengan hiasan ratusan buah Lampion yang melintang di atas jalan.

Sebuah lampion besar dipasang tepat di atas Tugu Jam di depan pasar.

Sebelum kirab, dua gunungan kue keranjang digotong ke dalam klenteng untuk “diberkati”.

Bersama gunungan, sejumlah liong-barongsai ikut pula didoakan.

Kirab yang melibatkan sekitar 1.500 orang dari bermacam kelompok kesenian, antara lain barongsai, batik carnival, dan kelompok musik bambu.

Di barisan depan sebagai cucuk lampah adalah prajurit Keraton Kasunanan Surakarta, disusul sejumlah warga peranakan yang mengenakan pakaian punakawan Semar, Gareng, Petruk dan Bagong.

Di sepanjang kirab mereka bertingkah laku kocak khas punakawan.

Barisan berikutnya adalah kelompok marching band, komunitas sepeda onthel (sepeda onta), dan para pedagang Pasar Gede yang membawa puluhan joli (tandu kecil) dan tampah berisi bermacam jajan pasar dari dua etnik, seperti getuk, klepon, onde-onde, bakpao dan roti gembukan.

Arak-arakan kirab meninggalkan Pasar Gede mengeliling kawasan pecinan Sudiroprajan, menyusuri Jl Jenderal Sudirman hingga Bundaran Gladak, selanjutnya simpang empat Sangkrah, Pasar Kliwon, Jl RE Martadinata hingga tembus Jl Ir Juanda dan kembali ke Pasar Gede melalui kawasan warung pelem atau Jl Urip Sumoharjo.

Di sepanjang sisi jalan yang dilalui kirab, ribuan ribu warga menyaksikan arak-arakan dan bermacam atraksi kesenian yang ditampilkan, seperti atraksi liong-barongsai dengan para pemain dari warga keturunan dan Jawa.

Manggalayuda Sudira

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, dalam kirab kali ini ditampilkan fragmen tari “Manggalayuda Sudira” yang diadopsi dari cerita rakyat Tionghoa.

“Grebeg Sudiro menghapus sekat-sekat. Bukan masanya lagi membedakan tempat dan asal-usul. Tradisi ini menjadi milik bersama, yang menepiskan sekat-sekat etnik, sosial dan budaya. Tidak ada Jawa, tidak ada Tionghoa, semua sama. Atas dasar sikap seperti itulah tradisi ini berlangsung,” kata Walikota Solo Joko Widodo.

Puncak ritual ini terjadi di sekitar Tugu Jam di depan Pasar gede, yaitu rebutan kue keranjang yang menjadi bagian tak terpisahkan dari grebeg.

Dua gunungan besar yang masing-masing berisi 500 kue keranjang semestinya dibawa masuk klenteng untuk kembali didoakan sebelum akhirnya dibagikan bersama sebanyak 2.500 kue keranjang lainnya.

Namun dua gunungan kue keranjang yang digotong delapan orang itu rupanya tetap menjadi incaran ribuan warga.

Alhasil, sebelum rombongan pembawa tandu gunungan kue keranjang mencapai klenteng, ribuan orang yang berada di sekitar Pasar Gede langsung menyerbu sepasang gunungan penuh kue keranjang itu.

Ribuan orang berdesakan, saling seruduk, saling sikutdan saling dorong untuk mendapatkan kue keranjang. Beberapa orang terjatuh dan terinjak, namun itu semua tak menghentikan perebutan kue keranjang.

Dalam sekejap, gunungan kue keranjang itu pun ludes, hanya menyisakan kerangka.

Menurut Sarjono, perebutan kue keranjang itu sebenarnya bukan sekadar rebutan biasa, tetapi memiliki nilai penting, yaitu simbol agar manusia tidak berdiam diri.

Manusia harus bergerak dan berusaha untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Bukan hanya dalam Grebeg Sudiro, tetapi simbol “harus bergerak dan berusaha” itu selalu melekat dalam setiap ritual grebeg.

“Orang Jawa mengatakan, ora obah ora mamah (tidak bergerak, maka tidak akan makan). Itu makna dalam tradisi grebeg yang sudah mengakar dalam budaya Jawa,” kata Sarjono.

Pluralisme Buk Teko

Salah satu gunungan di Grebeg Sudiro
Salah satu gunungan di Grebeg Sudiro (foto : Diparta Solo)

Boleh jadi, perihal pembauran ini tradisi Grebeg Sudiro memang “barang baru”.

Namun jauh sebelumnya, tradisi pembauran Jawa_Tionghoa sesungguhnya telah lama tumbuh dan berkembang di Kampung Sudiroprajan.

Di sana, pluralisme tanpa suara gegap gempita telah berlangsung turun-temurun sejak bertahun-tahun, salah satunya lewat tradisi sedekah bumi “Buk Teko”.

Kata “buk” mengacu pada bangunan dari semen di ujung jembatan dan biasanya digunakan untuk duduk.

Sedangkan “teko” adalah tempat minum (porong kecil).

Konon, nama “buk teko” berawal dari kisah tutup teko milik Raja Surakarta, Paku Buwono (PB) X yang jatuh di sekitar jembatan di Sudiroprajan, Namun ketika dicari tidak pernah ditemukan.

Jembatan itu kemudian dinamakan “buk teko”.

Ritual “Buk Teko” yang menjadi cikal bakal Grebeg Sudiro ini digelar malam hari dan menjadi rangkaian awal perayaan imlek, berupa arak-arakan gunungan hasil bumi dengan penerangan seribu lampion yang dibawa warga.

Di sepanjang kirab, warga memainkan musik cokekan.

Gunungan hasil bumi dan musik cokekan adalah simbol masyarakat Jawa, sedangkan sedangkan lampion menjadi simbol etnis Tionghoa.

Tradisi cokekan sendiri sudah lama berkembang di Kampung Balong, Sudiroprajan, yang juga merupakan kawasan pecinan di Solo.

“Gunungan ini sebagai bentuk syukur kepada Tuhan atas limpahan rezeki, sedangkan lampion menjadi harapan agar perjalanan setahun ke depan terang benderang,” tutur Sarjono.

Begitulah, Grebeg Sudiro telah menjadi sebuah pembauran sekaligus dialog yang elok antar etnis Jawa-Tionghoa.

Sejarah kelam perseteruan Jawa-Tionghoa yang pernah beberapa kali mewarnai Kota Solo adalah bayang-bayang yang terus memudar. (GNA)

Baca juga:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.