Filosofi Jawa dalam Selembar Kain Batik

Filosofi Jawa bisa ditemukan dalam selembar kain batik. Batik bukan sekadar coretan yang ditorehkan pada kain. Sebab motif yang ditorehkan selalu menyimpan makna terutama bagi orang Jawa.

Beberapa motif batik, misalnya, sengaja untuk menunjukkan status pemakaianya.

Bahkan sampai saat ini, sejumlah motif batik tadisional klasik hanya boleh dipakai oleh keluarga keraton (Yogyakarta dan Surakarta).

Maka, setiap motif pada batik tradisional klasik selalu memiliki filosofi tersendiri.

Pada motif batik, khususnya di Jawa Tengah, terutama Solo dan Yogyakarta, setiap gambar memiliki makna. Ini berhubungan dengan arti atau makna filosofi Jawa dan Hindu.

Pada motif tertentu ada yang dianggap sakral dan hanya dapat dipakai pada kesempatan atau peristiwa tertentu.

Menariknya, jika menengok fungsi kain batik di lingkungan keraton, batik ternyata hanya digunakan sebagai kain bawahan, artinya bukan untuk gaun atau kemeja.

Dan setiap motif pun mempunyai peruntukannya masing-masing.

Filosofi Jawa misalnya bisa dilihat pada motif batik Sida Mukti, yang secara harfiah berarti “menjadi berkecukupan, makmur”.

Motif ini hanya boleh digunakan oleh kalangan keluarga keraton.

Ada lagi motif Wahyu Tumurun (turunnya wahyu), yang digunakan hanya pada upacara jumenengan (perayaan ulang tahun naik tahta).

Sementara motif Parang yang bernuansa cukup ramai, biasanya dipakai untuk acara pesta atau menghadiri suatu perayaan.

Sedangkan untuk melayat, digunakan warna yang lebih lembut yaitu motif kawung.

Keempat motif batik tersebut hanya diperuntukan bagi keluarga keraton, dan tidak boleh digunakan oleh rakyat jelata.

Di luar empat motif batik tersebut, tentu masih terdapat banyak motif lain.

“Pada zaman PB III, mori atau kain yang akan dibatik harus direndam dulu selama 40 hari 40 malam. Jadi, membuat batik itu tidak asal jadi karena ada serangkaian ritual yang harus dilakukan agar auranya keluar,” kata Pengageng Parintah Keraton Surakarta, GPH Dipo Kusumo.

Filosofi Jawa dalam Selembar Kain Batik

Motif Batik Parang Barong/fader.id

Motif-motif Parang

Motif Parang Rusak menyimpan filosofi Jawa yang sangat kental.

Motif ini diciptakan oleh Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram.

Konon, sang raja sering bertapa di sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa yang dipenuhi oleh jajaran pegunungan seribu yang terlihat seperti pereng (tebing) berbaris.

Akhirnya, ia menamai tempat bertapanya dengan pereng yang kemudian berubah menjadi parang.

Di salah satu tempat bertapa ada bagian yang terdiri dari tebing-tebing atau pereng yang rusak karena terkikis deburan ombak laut selatan, sehingga lahirlah ilham untuk menciptakan motif batik yang kemudian diberi nama Parang Rusak.

Kemudian motif Parang Rusak Barong.

Motif ini diciptakan Sultan Agung Hanyakrakusuma yang ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya sebagai raja dengan segala tugas kewajibannya, dan kesadaran sebagai seorang manusia yang kecil di hadapan Sang Maha Pencipta.

Kata barong berarti sesuatu yang besar, dan ini tercermin pada besarnya ukuran motif tersebut pada kain. Motif Parang Rusak Barong ini merupakan induk dari semua motif parang.

Pada zaman dulu, motif barong hanya boleh dikenakan oleh seorang raja.

Motif ini mempunyai makna agar seorang raja selalu hati-hati dan dapat mengendalikan diri.

Motif parang sendiri mengalami perkembangan dan memunculkan motif-motif lain seperti Parang Rusak Barong, Parang Kusuma, Parang Pamo, Parang Klithik, dan Lereng Sobrah.

Karena penciptanya pendiri Mataram, maka oleh kerajaan, motif-motif parang hanya diperuntukkan bagi raja dan keturunannya, bukan dipakai oleh rakyat biasa. Jenis batik ini masuk dalam kelompok batik larangan (batik yang tidak boleh dipakai oleh rakyat jelata).

Baca juga : 8 Motif Batik Parang, Ini Makna dan Jenisnya

Filosofi Jawa dan Derajad

Pada zaman Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, motif parang menjadi pedoman utama untuk menentukan derajat kebangsawanan seseorang dan menjadi ketentuan yang termuat dalam Pranatan Dalem Jenenge Panganggo Keprabon Ing Karaton Nagari Ngajogjakarta tahun 1927. Selain motif Parang Rusak Barong, motif batik larangan pada lainnya adalah adalah motif Semen, Udan Liris, Sawat dan Cemungkiran.

Motif batik Semen yang mengutamakan bentuk tumbuhan dengan akar sulurnya ini bermakna semi atau tumbuh sebagai lambang kesuburan, kemakmuran, dan alam semesta.

Baca juga : Jejak Panjang Batik Surakarta

Sedangkan motif Udan Liris termasuk dalam pola geometris yang tergolong motif lereng disusun secara garis miring, sering diartikan sebagai hujan gerimis yang menyuburkan tumbuhan dan ternak.

Motif-motif lain, adalah motif Lidah Api, Setengah Kawung, Banji, Sawut, Mlinjon, Tritis, Ada-ada dan Untu Walang yang komposisinya diagonal memanjang, bermakna pengharapan agar pemakainya dapat selamat sejahtera, tabah dan berprakarsa dalam menunaikan kewajiban bagi kepentingan nusa dan bangsa.

Namun seiring dengan perkembangan zaman, penerapan batik larangan sudah tidak sekuat dulu lagi. Bahkan motif-motif tersebut sekarang sudah banyak dikenakan masyarakat di luar tembok keraton.

Filosofi Jawa Menandai Peristiwa Penting

Zaman terus berubah. Toh meski demikian, bagi sebagian masyarakat Jawa, pemakaian batik tetap saja untuk menandai setiap peristiwa penting dalam kehidupan manusia, sejak lahir hingga mati.

Artinya, beberapa motif batik hanya bisa digunakan untuk peristiwa-peristiwa penting.

Filosofi Jawa itu muncul pada peristiwa kelahiran, misalnya.

Bayi yang yang baru lahir ada baiknya dialasi dengan kain batik tua milik neneknya atau kopohan yang berarti basah.

Ini mengandung harapan agar si bayi berumur panjang seperti sang nenek.

Untuk pernikahan, batik yang cocok dikenakan mempelai adalah batik dengan motif yang berawalan sida, misalnya Sida Mulya, Sida Luhur, Sida Asih, dan Sida Mukti.

Motif Sida Mukti biasanya dipakai oleh pengantin pria dan wanita pada acara perkawinan, dinamakan juga sawitan (sepasang).

Ada juga motif yang bukan sawitan kembar, tetapi biasanya dipakai pasangan pengantin yaiu motif Ratu Ratih berpasangan dengan Semen Rama, yang melambangkan kesetiaan seorang istri kepada suaminya.

Namun jika tak ada motif sida, mempelai bisa juga mengenakan motif Truntum, Wahyu Tumurun, Semen Gurdha, Semen Rama dan Semen Jlekithet.

Masing-masing mengandung maksud agar kedua mempelai mendapat kebahagiaan, kemakmuran dan menjadi orang terpandang.

Namun sangat pamali jika mempelai mengenakan motif Parang Rusak. Sebab, rumah tangganya kelak akan hancur.

Filosofi Jawa juga muncul pada upacara pernikahan di mana orang tua mempelai akan mengenakan motif Truntum, yang maknanya menuntun kedua mempelai dalam memasuki liku-liku kehidupan baru yaitu berumah tangga.

Dikenal juga motif Sida Wirasat.

Wirasat berarti nasehat, dan pada motif ini selalu terdapat kombinasi motif truntum di dalamnya.

Motif  Wirasat merupakan pengembangan dari motif Sida Mulya, yang isinya terdiri dari bermacam–macam motif batik, antara lain motif Cakar, Truntum, Sida Luhur, dan Sida Mulya.

Makna motif ini, supaya dikabulkan segala permohonannya, mencapai kedudukan tinggi, terpenuhi segala materi, juga permohonan petunjuk dari Tuhan saat mendapat kegelapan agar cepat diberi jalan yang terang.

Filosofi Jawa dalam Selembar Kain Batik
Raja Surakarta dan tarian skral Bedhaya Ketawang/Ganug Nugroho Adi

Filosofi Jawa dan Konsep Kekuasaan

Pada awalnya motif ini dipakai oleh golongan tua saja, tetapi dalam perkembangannya motif ini didalam masyarakat sering dipakai orang tua penganten putra dalam acara mbesan.

Motif ini berpola geometris seperti batik Sido Luhur, Sido Mukti dan berkaitan dengan kepercayaan kejawen.

Baca juga : Motif Batik Sidomukti Surakarta

Dasar pengertian ini adalah konsep kekuasaan dipercaya muncul dari alam semesta, disamping dari kekuasaan manusia.

Dalam pola batik geometris ini, raja merupakan simbol kekuasaan dunia dan sarana memberikan wahyu yang di wujudkan dengan pemberian pangkat kedudukan kepada kawulanya.

Raja juga pelindung lewat hukum yang diberlakukan.

Hal ini digambarkan motif yang ketemu dalam empat titik temu bentuk belah ketupat, sebagai lambang raja yang di kelilingi oleh para pembantunya seperti yang disebut Pancaniti, dimana raja sebagai sebagai hakim, patih sebagai jaksa, pujangga sebagai panitera, dan senapati serta ulama sebagai dasar perimbangan keputusan.

Motif Wirasat sebelum muncul di Surakarta, telah berkembang lebih dulu motif ceplok.

Motif batik gagrak Surakarta sangat erat kaitannya dengan perjanjian Giyanti tahun 1755, yang memecah Kerajaan Mataram menjadi dua: Surakarta dan Yogyakarta.

Baca juga : Perjanjian Giyanti Membelah  Mataram Jadi Dua 

Dari perpecahan tersebut, seluruh busana (batik) keraton dibawa ke Yogyakarta.

Sejak perpecahan itulah keraton Mataram Surakarta tidak mempunyai corak busana khas keraton, hingga kemudian Paku Buwono III memerintahkan untuk membuat motif batik Surakarta.

Namun perkembanganan corak batik gagrak Surakarta yang pesat, justru mengakibatkan nilai-nilai filosofi, budaya, dan tatanan dalam penggunaan kain batik menjadi kabur; kain batik yang diperuntukkan bangsawan dan kawula menjadi tidak jelas.

Sang Raja, PB III, pun membuat sejumlah aturan, antara lain dengan mengeluarkan motif batik larangan.

Yaitu motif batik tertentu yang hanya boleh dipakai oleh kalangan keraton, dan rakyat jelata dilarang memakainya. Inilah awal batik gagrak Surakarta mengenal tatanan berbusana di dalam kehidupan masyarakat jawa, khususnya dibumi Mataram Surakarta Hadiningrat).

Selain batik larangan, pihak keraton juga menjadikan batik sebagai simbol status dan tanda kepangkatan pemakainya.

Batik untuk Kalangan Keraton

Batik Parangrusak. Motif ini dipakai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati (KGPAA), Pangeran Putra, Pangeran Sentana dan Sentana dalem yang berpangkat bupati riya nginggil yang bergelar KRMH.

Batik Udan Riris. Motif batik ini dipakai oleh pepatihdalem.

Bathik Rejeng. Motif ini dikenakan para komandan prajurit (setingkat Perwira Tinggi) dan duta keraton.

Batik Tambal Kanoman. Batikan Kampuh atau Dodotan para Bupati dan dijadikan seragam Bupati Anom dan juru tulis kantor di lingkungan Kabupaten.

Batik Semen Latar Putih. Motif ini di pakai oleh Abdidalem yang berpangkat Bupati, Bupati Anom dalam dan luar.

Batik Padas Gempal. Motif ini di pakai para Abdidalem yang berpangkat Panewu/Mantri dari golongan sorogeni (prajurit Sorogeni, yang berseragam merah) kebawah.

Batik Medhangan. Motif ini di pakai oleh para Panewu/Mantri ke bawah dari golongan Sangkragnyana.

Batik Kumitir. Motif ini di gunakan oleh para Panewu/Mantri ke bawah dari golongan kanoman.

Batik Tambal Miring. Motif ini di pakai oleh para Abdidalem yang berpangkat Panewu/Mantri dari golongan Juru Tulis.

Batik Jamblang. Motif ini di pakai oleh para Panewu/Mantri ke bawah dari golongan kadipaten Anom.

Batik Ayam Puser. Motif ini dipakai oleh para Abdidalem yg berpangkat Panewu/Mantri ke bawah dari golongan Yogeswara atau Suranata atau Abdidalem Ulama.

Batik Slobog. Motif ini di gunakan oleh para Abdidalem Panewu/Mantri ke bawah dari golongan niyaga (penabuh gamelan).

Batik Wora wari Rumpuk. Motif ini di gunakan oleh para Abdidalem Panewu/Mantri ke bawah dari golongan Pangrehpraja atau yang membawahi wilayah.(*)

Tinggalkan komentar