Eksotisme Pembuatan Keris

Malam larut. Iring-iringan 15 pria dengan kostum balutan kain putih itu terus berjalan membelah hutan jati. Tiga pria paling depan membawa kendi, dan beberapa lempengan besi berbalut kain mori. Sepuluh orang membawa obor di barisan belakang.

Seorang pria setengah baya menjadi cucuk lampah (pemimpin barisan) yang terus menerus melantunkan sekaran macapat (tembang Jawa). Suasana begitu hening, hanya terdengar suara langkah-langkah kaki dan lantunan tembang Jawa yang syahdu.

Dodot ira dodot ira/kumitir bedahing pinggir

dondomana jlumatana/kanggo seba mengko sore

mumpung padang rembulane/mumpung jembar kalangane

(Pengalan tembang jawa Ilir-ilir)

Itulah prosesi ritual yang merupakan rangkaian dari prosesi pembuatan keris di Padepokan Brojobuwono di Desa Wonosari, Karanganyar, Jawa Tengah. Sebelumnya digelar bancakan, yaitu menyantap aneka sesaji yang telah didoakan, seperti nasi tumpeng, ingkung, jenang merah putih, pisang raja, dan jajanan pasar.

“Ini ritual doa yang dilakukan setiap kali kami akan memulai prosesi pembuatan keris. Kirab serupa masih akan digelar ketika pembuatan keris selesai,” kata Basuki Teguh Yuwono, empu keris.

Seusai kirab, rombongan langsung masuk besalen (tempat pembuatan keris ). Basuki langsung menyalakan api di besalen. Tiga laki-laki menyerahkan beberapa lempengan besi, baja, dan nikel yang merupakan bahan utama pembuatan keris . Percikan bunga api langsung terlihat ketika lempengan-lempengan besi dimasukkan ke perapian dengan bahan bakar berupa arang kayu jati kualitas terbaik. Proses penempaan pun dimulai.

“Namanya masuh, yaitu proses membersihkan besi dari kotorannya dengan cara ditempa berulang-ulang. Besi sudah bersih kalau sudah tidak ada lagi percikan api,” jelas Basuki.

Jika proses ini selesai, tambah dia, maka besi sudah siap untuk ditempa. Butuh waktu antara dua sampai tiga bulan untuk menyelesaikan sebilah keris. Untuk keris pesanan khusus bahkan bisa lebih lama lagi.

Salah satu keris buatan Basuki yang dinamakan Kyai Naga Minulyo diselesaikan dalam waktu dua tahun. Proses pembuatan keris memakan waktu lama karena bahan-bahannya khusus. Salah satunya bahannya adalah pasir besi yang diambil dari lereng Gunung Merapi, dicampur dengan besi dan nikel pilihan.

Namun tidak selalu pembuatan keris dibuat dari bahan-bahan yang rumit. Ia pun pernah melakukan eksperimen dengan bahan rel lori, per andong, baja ulir jembatan, dan pasir besi dari sungai di Kulonprogo.

“Saya ingin membuktikan bahwa keris yang bagus itu tidak harus dari bahan yang mahal. Hasilnya tetap berkualitas. Keris terlihat bersinar dengan pamor yang jelas,” kata Basuki.

Pada masa kerajaan dulu, proses pembuatan keris dilakukan secara rahasia dan tidak sembarang orang boleh melihat. Kini besalen sangat terbuka bagi merteka yang ingin melihat secara langsung proses penempaan besi sampai menjadi sebilah keris.

Namun satu hal yang tidak berubah, hingga kini seluruh proses pembuatan keris tetap dilakukan dengan perhitungan yang rumit. Empu Basuki misalnya, masih melakukan ritual puasa dan berdoa kepada Tuhan sampai ia merasa mendapat petunjuk kapan membuat keris.

“Keris tidak bisa dibuat sembarangan, karena menyangkut diri pemesannya seperti weton (hari lahir sesuai perhitungan Jawa). Jadi keris yang dipesan oleh seseorang akan berbeda dengan keris pesanan seorang yang lain karena menyangkut karakter pemesan,” kata Basuki.

Di Solo, beberapa besalen seperti Padepokan Brojobuwono, Dalem Hardjonegaran (Go Tik Swan), dan besalen milik Empu Subandi sering dikunjungi wisatawan lokal dan asing yang ingin melihat dari dekat proses pembuatan keris yang eksotis.

Pagi seusai kirab sederhana itu, empu dan para panjak (asisten empu) pun masuk besalen. Mereka mulai menyiapkan bahan-bahan pembuatan keris, seperti besi tempat sekitar 12 kilogram untuk keris lurus, atau 18 kilogram untuk keris luk (berlekuk), baja sekitar 600 gram, dan bahan pamor (nikel) sekitar 350 gram. Pada zaman dulu, bahan pamor terbaik adalah meteor. Namun kini meteor sudah sangat sulit diperoleh.

Bahan pamor dipasang dengan cara menjepitnya dengan dua besi, kemudian disatukan dengan penempaan sehingga terjadi lapisan atau lipatan berberselang-seling antara besi dan pamor.

Untuk pembuatan keris berkualitas sederhana setidaknya terdiri dari 128 lipatan. Sedangkan untuk kualitas nomor satu diperlukan minimal 2.000 lapisan. Semakin banyak lipatan otomatis membutuhkan waktu pengerjaan lebih lama.

Suasana besalen pun terlihat sibuk. Empu dan para panjak berulang kali memasukkan besi dan nikel ke perapian dan kemudian menempanya. Udara besalen pun menjadi panas. Abu sisa pembakaran berterbangan di antara tubuh empu dan panjak yang berkeringat.

Sekali waktu, lempengan besi merah-kuning menganga yang baru dikeluarkan dari peperapian itu langsung dicelupkan ke dalam minyak. Proses ini dinamakan nyepuh, yaitu mengeraskan besi dengan pendinginan mendadak. Dengan cara ini, besi menjadi menjadi sangat kuat dan keras.

Kelak, setelah melipatnya sampai ratusan bahkan ribuan kali, material pembuatan keris seperti besi, baja, nikel yang beratnya bisa mencapai puluhan kilogram itu bisa berubah menjadi calon keris yang tipis, ringan, namun kuat.

Calon keris tadi akan sempurna menjadi sebilah keris, setelah melalui proses kinatah, yaitu memberikan ragam hiasan pada bilah dengan motif hewan, tumbuh-tumbuhan, wayang, atau pun rajah (mantra).

Proses terakhir pembuatan keris adalah marangi (memunculkan pamor), yaitu dengan cara memoleskan warangan (cairan arsenikum yang dicampur dengan air jeruk nipis) pada bilah keris. Warangan akan memunculkan lapisan hitam pada besi, sedangkan nikel tidak bereaksi sehingga warnanya tetap putih. Warna putih berbetuk pola tertentu inilah yang disebut pamor. Harga sebilah keris dengan kualitas bagus bisa mencapai puluhan juta rupiah bahkan ratusan juta rupiah.

Meski termasuk senjata tikam, namun Basuki melihat bahwa pada zaman dulu keris dibuat bukan semata-mata untuk membunuh. Sebaliknya, pembuatan keris pertama-tama karena untuk memenuhi kebutuhan ritual (spiritual).

“Keris sebagai senjata itu hanya dalam pengertian simbolik. Keris lebih sebagai piyandel (kepercayaan dan keyakinan). Untuk menambah rasa percaya diri. Bukan untuk disembah atau dipuja,” jelas Basuki.

Menurut pengamat keris asal Solo, Ronggojati Sugiyatno, memandang keris sebenarnya sama seperti halnya memandang wayang, dan batik. Sebab yang diambil adalah nilai filosofi dan tuntunan hidup.

“Jadi tergantung pada kadhewasaning Jiwa Jawi (kedewasaan bersikap). Semakin kaya pengalaman rohani sesorang, maka semakin pintar pula memahami nilai filosofi keris,” ujar dia.

Ronggojati lebih melihat keris sebagai pencapaian puncak karya seni tempa logam yang diwariskan oleh peradaban masa lalu. Pencapaian puncak, karena pada fisik keris akan ditemukan perpaduan seni tempa, ukir, pahat, seni bentuk, serta seni perlambang. Di luar fisik, pembuatan keris juga selalu disertai laku oleh sang empu, puasa, doa-doa, dan ritual. (baca juga : Keris dari Mitos Menjadi Karya Seni)

“Unesco mengakui keris sebagai warisan atau pusaka budaya dunia bukan hanya karena keindahan fisiknya, tapi juga proses pembuatan keris yang rumit, dan nilai-nilai filosofi yang ada di dalamnya,” ujar dia.

Prinsip dasar dari pembuatan keris adalah lipatan. Semua benda yang tipis jauh lebih kuat jika benda itu dibuat secdara bererlapis-lapis. Teori ini sudah dilakukan oleh para leluhur bangsa Indonesia pada sekitar abad ke-12, jauh sebelum teknologi pembuatan playwood (kayu lapis) baru ditemukan oleh orang Barat pada awal abad ke-16.

“Saya tidak pernah menyangsikan bahwa keris itu sebagai puncak pencapaian karya seni tempa logam. Salah besar kalau sampai sekarang masih ada orang yang menganggap keris sebagai klenik (mistis). Antara myth (keyakinan) dan mistis itu berbeda,” ujar Basuki.(*)

Tinggalkan komentar