Budaya

Kerata Basa, Asal-usul Kata Kaya Makna

Kerata-Basa-arti-kata-dan-Asal-usul-Kata-kendhi

Kerata basa dapat dimaknai sebagai singkatan dari satu kalimat ke dalam satu kata tertentu, sehingga satu kata tersebut dapat menyiratkan makna kalimatnya. Kerata basa juga sering disebut sebagai Jarwa Dhosok. Berarti  penjabaran/keterangan (jarwa) yang disingkat (dhosok/ndhesek). Kata “Kerata basa” sendiri berarti asal-usul arti kata dalam bahasa.

Orang jawa memang sejak dulu dikenal sebagai orang yang kreatif dalam hal Othak-athik gathuk (menghubung-hubungkan sesuatu agar cocok). Tak terkecuali dalam merangkai kata sehingga memiliki makna yang lebih filosofis.

Pemaknaan kata yang melekat pada ‘sesuatu’ inilah yang seringkali dijadikan sebagai bahasa simbol orang jawa dalam melakukan komunikasi. Ia bisa dijadika sebagai pepiling (peringatan) ataupun paweling (pesan) bagi orang banyak.

Misal saja, kendhi (tempat minum yang terbuat dari gerabah/tanah liat), sering dimaknai sebagai Kendhalining Budi, (kendali atas hati dan pikiran manusia). Dari kendhi inilah orang jawa memberi pesan bahwa air yang dimasukkan kendhi adalah air bersih, keluarnya juga suci dan bisa mensucikan. Manusiapun juga demikian, jika apa yang ia dengar dan pelajari adalah hal baik, maka apa yang akan diucapkan dan dilakukan adalah sesuatu yang baik.

Orang jaman dahulu memanfaatkan Kendhi sebagai tempat air minum. Ada juga yang memanfaatkan sebagai tempat berwudlu seperti padasan (gentong kecil yang ada lubang airnya). Selain itu kendhi juga memiliki fungsi sosial. Dahulu banyak orang yang meletakkan air minum dalam kendhi di pinggir jalan depan rumahnya. Siapapun yang lewat boleh dan bisa meminumnya sebagai pelepas dahaga.

Beberapa contoh lain dari kerata basa yang memiliki makna filosofis diantaranya adalah :

Tebu : Anteb ing Kalbu (kemantapan dalam hati)

tebu anteb ing kalbu

foto pixabay.com

Kemantapan dalam hati dibutuhkan setiap orang dalam mewujudkan berbagai niatnya. Dengan kesungguhan hati inilah seseorang akan bisa menjadi pribadi yang selalu siap menghadapi berbagai tantangan yang mungkin akan datang.

Orang Jawa banyak memanfaatkan tebu sebagai salah satu uba rampe (sarana) dalam hiasan tarub  pernikahan jawa. Kadang juga dimanfaatkan pada upacara adat lainnya. Biasanya tebu yang dipilih adalah tebu wulung (tebu yang pohonnya berwarna ungu kehitaman). Wulung berarti ulung, unggulan, sejati dan murni. (baca juga : Filosofi Hiasan Tarub dalam Pernikahan Adat Jawa)

Piring : Sepi yen miring (Sepi jika miring)

piring sepi yen miring

foto : pixabay.com

Dengan kerata basa piring inilah orang tua jaman dahulu memberi pesan bahwa untuk memiliki banyak saudara ataupun teman jangan enggan berbagi rejeki dengan orang lain. Muliakanlah tamu dengan suguhan makanan yang dipunya. Suka berderma pada tetangga meski hanya berupa makanan. Inilah salah satu alasan kenapa orang jaman dahulu sering menyelenggarakan acara-acara syukuran dan kenduri dengan mengundang sanak saudara dan para tetangga. Selain bisa mendapatkan doa kebaikan dari orang banyak, ia juga dapat memiliki kesempatan untuk bersedekah.

Terkait dengan masalah berbagi makanan dengan orang lain, orang jawa juga memiliki bebasan atau pepatah jawa “Pager mangkok luwih kuwat tinimbang pager tembok” (pagar mangkok lebih kuat daripada pagar tembok). Meski hanya dengan bersedekah makanan pada tetangga, seseorang akan bisa membangun kehidupan yang rukun. Dampaknya seseorang tersebut akan banyak saudara, banyak teman, banyak rejeki, dan tentu dapat melindungi orang tersebut jika terjadi sesuatu. Hal ini akan beda cerita jika seseorang tersebut memiliki watak pelit, sombong, tidak pernah berbagai, meski rumahnya dibeteng tembok tinggi.

Ngelmu : Angele yen durung ketemu

ngelmu angele yen durung ketemu

foto: pixabay.com

Ilmu itu memang akan terasa sulit jika belum menemukan. Untuk itulah orang jawa mewajibkan siapa saja untuk menuntut ilmu bagi kehidupannya. Semua hal akan mudah dilakukan jika sudah mengetahui ilmunya.

Golek Ngelmu (menuntut ilmu/belajar/sekolah) bagi orang jawa tidak hanya sebatas untuk kepentingan mendapatkan pekerjaan semata. Tapi lebih dari itu, yakni sebagai upaya untuk mendewasakan diri baik secara lahir maupun batin. Dengan ngelmu yang dikuasai tersebut diharapkan bisa turut Memayu hayuning pribadi; memayu hayuning kulawarga; memayu hayuning sesama; memayu hayuning bawana. (Berbuat baik dan menjaga diri sendiri, keluarga, sesama manusia, dan seluruh alam).

Dalam proses menuntut ilmu, orang jawa mengenal tiga istilah penting sehingga ilmu bisa menyatu dalam diri pribadi. Istilah tersebut adalah Ngretia, Ngrasakna, Nglakonana. Kata Ngretia bermakna seseorang dalam menuntut ilmu harus memahami/mengerti dengan akal pikiran (kemampuan koqnitif), Ngrasakna berarti dirasakan dan menghayati dengan perasaan (kemampuan afektif), dan Nglakonana yakni membuktikan dan mengamalkan ilmu yang dipelajari dengan perbuatan nyata (psikomotor). Hal ini sesuai dengan tembang pucung dalam Serat Wulangreh karya Sri Susuhunan Pakubuwana IV, Raja Surakarta, bahawasanya Ngelmu iku kalakone kanthi laku.

Krikil : Keri nang sikil (Geli di kaki)

krikil keri nang sikil

foto : pixabay.com

Kerata basa krikil ini, mengingatkan pada laku urip (perjalanan hidup) dimana seringkali seseorang jatuh bukan karena gunung yang tinggi, tapi justru hanya karena batu kecil yang sering dilewati.

Dalam hal apapun memang, kriwikan bisa dadi grojogan (masalah kecil bisa menjadi masalah besar). Menyepelekan barang sepele bisa menjadi sumber masalah dan kegagalan dalam menjalankan tanggung jawab.

Guru : Digugu lan ditiru (dipercaya dan dijadikan contoh)

guru digugu lan ditiru

foto : pixabay.com

Digugu lan ditiru adalah sebuah gambaran seorang guru yang bukan hanya bertugas sebagai pengajar tapi juga sebagai seorang pendidik. Tugas berat memang ada di pundaknya, karena maju mundurnya sebuah bangsa juga sangat tergantung dari pendidikannya.

Kerata basa ‘Guru’ ini memang sesuai dengan pandangan hidup tokoh pelopor pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara yang digunakan sebagai semboyan Taman Siswa, yakni “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” (di depan menjadi teladan, di tengah membangkitkan semangat, dari belakang mendukung).

Menjadi seorang guru yang mumpuni memang bukan perkara yang mudah, pertama ia musti bisa menjadi seorang manusia pembelajar, selanjutnya harus mampu menjadi pemimpin, dan setelah itu barulah menjadi seorang guru. (Baca juga : Belajar Menjadi Pemimpin dari Ajaran Asta Brata)

Garwa : Sigaraning Nyawa (Belahan Jiwa)

garwa sigaraning nyawa

foto : pixabay.com

Garwa atau pasangan suami-istri merupakan kesatuan dari dua insan berbeda yang bersama-sama sepakat untuk mengarungi kehidupan baru dalam rumah tangga. Hubungan yang terdiri dari laki-laki dan perempuan ini bisa digambarkan seperti halnya kanan dan kiri, gelap dan terang, atas dan bawah, sehingga bisa dikatakan sebagai jodoh yang saling melengkapi.

Istilah sigaraning nyawa (belahan jiwa) menegaskan bahwa dalam menjalin hubungan dalam keluarga sang suami harus bisa menjadi satu bagian dari istrinya, begitu juga sebaliknya. Jika masing-masing sudah bisa merasa menjadi satu bagian, merasa saling memiliki, merasa saling melengkapi, maka keluarga yang bahagia sejahtera akan lebih mudah dicapai.

Dhalang : Ngudhal Piwulang (membeberkan ajaran/pengetahuan)

dhalang ngudhal piwulang

Foto: VIVAnews/Adri Irianto

Ngudhal piwulang (membeberkan ajaran/pengetahuan). Dengan modal pengetahuan, kemantapan hati – pikiran, keterampilan dan perilaku yang baik, siapapun bisa “menjadi dhalang” bagi lingkungannya.

Dikutip dari wikipedia.org, Kata Dalang ada yang mengartikan berasal dari kata Dahyang, yang berarti juru penyebuh berbagai macam penyakit. Dhalang dalam “jarwo dhosok” diartikan pula sebagai “ngudhal piwulang” (membeberkan ilmu), memberikan pencerahan kepada para penontonya. Untuk itu seorang dalang harus mempunyai bekal keilmuan yang sangat banyak. Berbagai bidang ilmu tentunya harus dipelajari meski hanya sedikit, sehingga ketika dalam membangun isi dari ceritera bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan nilai-nilai kekinian.

Cengkir : Kenceng ing pikir

cengkir kenceng ing pikir

foto : pixabay.com

Seperti halnya kerata basa Tebu (anteb ing kalbu) yang bermakna kemantapan hati, kata Cengkir dapat diartikan sebagai Kenceng ing pikir (Kuat dalam pikiran). Mantap dalam hati dan kuat dalam pikiran merupakan satu hal yang wajib dimiliki oleh setiap orang untuk menggapai cita-cita mulia.

Dalam tradisi Jawa, cengkir juga sering dimanfaatkan dalam berbagai upacara adat seperti halnya acara resepsi pernikahan. Adapun cengkir yang dipakai adalah Cengkir kuning/gading. Gading atau warna kuning berasal dari kata kalbu kang wening (hati yang bening/bersih). Dari cengkir gading inilah ada sebuah pesan bahwa kedua mempelai diharapkan dapat memiliki kemauan yang kuat dan suci untuk dapat mencapai tujuan bersama.

Wedang : Gawe kadang / Ngawe kadang

kerata basa wedang gawe kadang

foto : pixabay.com

Kata Wedang banyak dipercaya berasal dari kata Gawe kadang (Menjadikan saudara), ada pula yang menyebutkan dari kata Ngawe kadang (memanggil saudara) dan ada juga yang mengartikan Aweto dadi kadang (semoga awet menjadi saudara). Jika ditilik dari dasanama atau padanan kata bahasa jawa, “We” berarti air dan “Dang” berasal dari kata adang yang artinya memasak, jadi wedang adalah air yang telah dimasak.

Memang dalam hal bersosialisasi dengan orang lain, air minum bisa dijadikan sebagai sarana  mempererat persaudaraan. Oleh karenanya tak heran apabila dalam jamuan resepsi pernikahan jawa Wedang dijadikan sebagai suguhan pembuka (disebut sebagai unjukan/minuman). (Baca juga :Urutan Suguhan Makanan dalam Resepsi Pernikahan Jawa)

Tumpeng : Tumindak sing lempeng

tumpeng tumindak sing lempeng

foto : pixabay.com

Dalam budaya Jawa, tumpeng merupakan salah satu uba rampe (prasarana) utama yang banyak ditemukan dalam upacara tradisi seperti kenduri, selamatan maupun syukuran.

Ada banyak tafsir tentang asal kata tumpeng ini, ada yang berpendapat berasal dari kata Tumindak sing lempeng (berperilaku yang lurus/baik), Tumapaking Penguripan (membumi dalam kehidupannya), dan ada juga yang berpendapat dari kata Tumuju ing Pengeran (menuju Tuhan).

Bagi orang jawa semua sarana-prasarana upacara adat adalah sebuah bahasa simbol. Begitu juga dengan tumpeng, bentuk kerucut menjulang ke atas ini bisa ditafsirkan sebagai sebuah permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Kupat : Ngaku lepat

kerata basa kupat ngaku lepat

foto : pixabay.com

Kerata basa kupat atau ketupat dipercaya berasal dari kata ngaku (mengakui) lepat (kesalahan), maka tak heran apabila hidangan ketupat ini sangat erat kaitannya dengan hari raya idul fitri, sebuah momen yang tepat untuk saling meminta maaf dan mengakui kesalahan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top