Angon Putu, Tradisi Jawa yang Hampir Terlupakan

Keluarga trah Sismowartono, 85 warga Kiringan, Boyolali, baru saja menggelar hajatan yang dikemas dalam sebuah upacara tradisi Angon Putu.

Acara itu mereka adakan bertepatan dengan perayaan Natal, Jumat (25/12). Upacara tradisi angon putu tersebut diikuti oleh 58 anak, cucu serta cicitnya.

Anak, cucu dan cicitnya yang berasal dari luar kota itu sengaja meluangkan waktu untuk mengikuti prosesi upacara Angon Putu yang diadakan oleh nenek dan kakek mereka.

Mereka dengan suka cita menyambut upacara tradisi yang hampir punah itu. Bahkan cicitnya yang masih berusia lima bulan juga turut mengikuti upacara.

Prosesi Angon Putu

Angon Putu diawali dengan sungkeman. Anak-anak, cucu dan cicitnya sungkem kepada pasangan Sismowartono dan Dayati di kediamannya.

Setelah sungkeman, mereka membuka prosesi angon putu dengan  pelepasan balon dan burung merpati ke udara.

Rombongan keluarga yang berjumlah delapan mobil itu kemudian berjalan beriringan menuju Sambi Boyolali.

Angon Putu akan diadakan di Pasar Sambi Boyolali.

Sebelum acara inti, mereka, melakukan napak tilas perjalanan hidup Sismowartono dan isteri.

Napak tilas dimulai dari SDN 1 Sambi. Di sekolah tersbeut Sismowartono memulai perjalanan hidupnya.

Ia bekerja sebagai guru sekolah dasar, menikah dengan Dayati kemudian dikaruniai sembilan anak.

Saat napak tilas, rombongan keluarga ini juga diajak melihat belakang sekolahan dan rumah dinas SD yang sangat sempit.

Di rumah tersebut Sismowartono tinggal sebelum akhirnya pindah di daerah Kiringan dengan lokasi dan bangunan yang lebih luas.

Tiba pada acara inti, Sismowartono dan Dayati memberi sangu kepada anak-anak dan cucunya berupa uang pecahan yang dimasukkan ke dalam amplop.

Uang itu digunakan untuk jajan di Pasar Sambi.

Mereka dibebaskan membeli apapun yang dimau.

Sangu itu merupakan uang Sismowartono dan Dayati sendiri. Sengaja disiapkan untuk upacara Angon Putu.

Setelah kembali dari pasar mereka digiring pulang ke Kiringan.

Seperti jaman dulu, Sismowartono juga mengenakan beskap jangkep sedangkan Dayati mengenakan kebaya dan jarit.

Sismowartono membawa cemeti sebagai piranti yang digunakan untuk menggiring ngon-ngonan.

Diibaratkan orang yang sedang angon atau menggembala hewan ternak, cemeti itu berfungsi untuk menggiring agar ngon-ngonan tidak ke mana-mana.

Tradisi Angon Putu

Angon Putu ini merupakan tradisi Jawa yang sudah lama ada.

Namun tradisi ini memang tidak sepopuler tradisi Jawa lainnya seperti upacara lahiran, kitanan atau kematian.

Jaman dulu tradisi ini merupakan wujud rasa syukur sebuah keluarga atas keberkahan pada dirinya dan para cucu.

Biasanya diadakan jika cucunya sudah mencapai sekitar 25 orang.

Selain itu, Angon Putu juga sebagai cara untuk mendekatkan antar sanak saudara.

Mengingat, setelah menikah rata-rata mereka pergi merantau dan sibuk dengan urusan masing-masing. Seperti yang dilakukand i Trah Sismowartono.

Saat mengikuti acara ini semua anggota keluarga menyempatkan diri untuk hadir.

Bahkan mereka berulangkali mengadakan pertemuan untuk rapat sebelum akhirnya menjalankan prosesi itu pada hari H.

Tumbuk Ageng

Angon putu ini sebenarnya bagian dari upacara Tumbuk Ageng.

Upacara yang menandakan siklus kehidupan masyarakat Jawa menjelang tua, biasanya saat berumur 64 atau 80an tahun dan sudah memiliki lebih dari 25 cucu.

Tumbuk berarti berarti bertepatan atau berbarengan, sedangkan ageng berarti agung atau besar.

Jadi upacara ini diadakan tepat pada saat seseorang berusia 8 x 8 tahun (64 tahun).

Pada usia 64 ini dipercaya hari wetonnya tepat sama dengan weton saat dia lahir ke dunia.

Upacara tumbuk ageng ini diselenggarakan sesuai keadaan, bisa kecil-kecilan, sederhana atau mewah.

Tergantung pada perlengkapan dan jenis sesaji ketika melaksanakan kenduri.

Semakin banyak jumlah sesaji dan perlengkapan yang dibutuhkan, maka akan semakin banyak biaya yang dibutuhkan.

Ada tiga serangkaian acara Tumbuk Agung yaitu Angon putu, Congkogan, dan Andrawina. Ketiganya mengisyaratkan sebuah kegiatan yang ditujukan kepada orangtua.

Mulai dari momong putu, dibopong anaknya hingga simbol keprasahan orangtua pada Gusti Allah.

Berikut deskripsi ketiga rangkaian acara tradisi tersebut:

1. Angon Putu

Angon putu merupakan acara pertama dalam serangkaian Tumbuk Agung.

Diselenggarakan pada pagi hari dengan melibatkan keturunan anak cicit.

Diajak ke pasar untuk jalan-jalan sepuasnya. Setelah itu digiring kembali ke rumah.

2. Congkogan

Ini merupakan acara kedua. Diadakan sore hari sekitar Pukul 15.00 WIB. Urutannya sebagai berikut:

  • Orangtua yang dicongkogi atau disangga, berdiri di tengah halaman dikelilingi anak, cucu, cicit.
  • Anak-anaknya menyangga dengan tebu wulung. Anak yang mencongkog berjumlah paling sedikit empat orang. Empat orang anak tersebut masing-masing nyongkog di depan, belakang, samping kiri, dan samping kanan.
  • Bila berdirinya orangtua dirasa sudah cukup mapan/kuat, maka para penyongkog yang merupakan anak-anaknya tersebut mundur untuk menuju tempat di depan orangtua sehingga antara anak dan orangtua berdiri berhadap-hadapan.
  • Pada saat berhadapan ini orangtua memberikan berkahnya kepada anak-anaknya. Pemberian berkah ini bisa dalam bentuk yang bermacam-macam, seperti pemberian nasehat, pemberian semangat hidup, atau bahkan berupa suatu anggukan kecil kepada anak-anaknya.

Makna congkogan ini adalah suatu perumpamaan bahwa orang yang sudah tua  biasanya tidak dapat hidup mandiri karena fisiknya sudah mulai melemah, maka kehidupan selanjutnya perlu dibantu anak cucunya.

Tebu wulung yang digunakan dalam upacara congkogan merupakan lambang bahwa kehidupannya selalu dengan kemantapan hati dan pasrah kepada Pangeran sebagai Penguasa Jagad Raya.

3. Andrawinan

Ini merupakan upacara terakhir dalam rangkaian tumbuk ageng.

Dalam andrawinan dilakukan serangkaian adat upacara pangkas tumpeng, nyebar udhik-udhik, paring wasiat, sungkeman, dhahar kembul, dan wayangan sebagai penutup.

Baca juga :

Tinggalkan komentar