Amangkurat Agung, Sisi Gelap Mataram

oleh
oleh
Amangkurat Agung, Sisi Gelap Mataram
Amangkurat Agung/jejaktapak.com

Amangkurat Agung tidak bisa tidur. Raja Kasultanan Mataram itu mondar-mandir di pendapa Keraton Plered.

Ia sedang berpikir keras mencari cara menghabisi para pengkhianat.

Dua hari sebelumnya, adiknya sendiri, Pangeran Alit, menyerang istana, mencoba mendongkelnya dari tahta.

Ketika itu, baru dua tahun penguasa Mataram yang juga disebut Amangkurat I itu menjadi raja, menggantikan singgasana ayahnya, Sultan Agung, yang wafat.

Namun, dalam waktu sesingkat itu pemerintahannya sudah dipenuhi dengan intrik dan drama politik, lengkap dengan pembantaian yang mencekam.

Pengkhianatan, pembunuhan, dan pemberontakan terus-menerus terjadi.

Tumenggung Wiraguna, pengikut setia Sultan Agung, menjadi korban pertama pembunuhannya.

Amangkurat mengirim Wiraguna untuk menumpas pasukan Bali yang mencoba menguasasi wilayah Mataram di Blambangan.

Di tengah pertempuran itulah Sang Tumenggung dibunuh,  termasuk semua pendukungnya.

Semuanya berawal dari dendam lama.

Saat masih sebagai putra mahkota, Amangkurat pernah terlibat skandal dengan istri Wiraguna.

Sang Tumenggung melaporkan peristiwa itu kepada raja.

Akibatnya Amangkurat dimarahi habis-habisan oleh Sultan Agung.

Pangeran Alit tidak bisa diam melihat teman-teman terbaiknya dibantai.

Hingga akhirnya ia meminta bantuan para ulama untuk menggempur sang kakak.

Dalam sebuah pertempuran yang tak seimbang, pasukan Pangeran Alit berhasil dipukul mundur.

Amangkurat hanya membiarkan saja ketika para pengikutnya yang setia menghabisi adiknya.

Amangkurat Agung Bunuh Mertua

Pada tahun 1659, Amangkurat kembali melakukan pembunuhan.

Korbannya adalah mertuanya sendiri, Pangeran Pekik, berikut keluarganya, dengan tuduhan makar.

Puncaknya adalah pembantaian yang dilakukan terhadap ribuan ulama di halaman istana.

Sejarawan HJ de Graaf dalam De Regering van Sunan Mangku-Rat I Tegal-Wangi, vorst van Mataram, 1646-1677 (1961),  menuliskan bahwa sang raja berpesan agar seluruh pemuka agama di Mataram dihabisi.

“Jangan seorang pun dari pemuka-pemuka agama dalam seluruh yurisdiksi Mataram luput dari pembunuhan” (hlm. 38).

Tidak ada catatan resmi bagaimana pembantaian itu dilakukan.

Satu-satunya sumber yang bisa dirujuk adalah catatan Rijcklofs van Goen, pejabat VOC yang saat itu berdinas di Mataram, yang kemudian diterbitkan dalam De vijf gezantschapsreizen naar het hof van Mataram, 1648-1654 (1956).

“Pembantaian berlangsung sangat cepat. Dalam waktu kurang dari 30 menit, hari itu di suatu siang yang terik tahun 1648, sekitar 6000 ulama dan keluarga mereka tewas dibantai dengan keji oleh raja mereka sendiri.”

Pemberontakan Trunojoyo

Amangkurat Agung, Sisi Gelap Mataram
Ilustrasi pertempuran Trunojoyo/tirto.id

 

Satu pemberontakan terhadap Amangkurat yang dianggap paling seimbang barangkali adalah pemberontakan yang dilakukan oleh Trunojoyo.

Pangeran pangeran dari Madura yang sudah muak dengan kekejaman sang raja nekat menyerbu keraton Mataram pada 1677.

VOC bahkan sampai harus menurunkan pasukannya untuk membantu Amangkurat menggempur pasukan Trunojoyo.

Namun, 28 Juni 1677, pasukan Trunojoyo berhasil menggempur pasukan Mataram-VOC, dan meluluhlantakkan Keraton Plered.

Amangkurat sendiri telah melarikan diri menuju Batavia untuk mencari perlindungan Belanda.

Dalam pelariannya, Amangkurat jatuh sakit, dan kemudian meninggal.

Babad Tanah Jawi mencatat kematian Sang Raja dipercepat oleh air kelapa beracun dari putranya sendiri, Mas Rahmat.

Masa pemerintahan Amangkurat I memang dikenal sebagai zaman paling kelam dalam sejarah Mataram.

Sejak awal penobatannya menjadi raja Mataram, para pendukung Sultan Agung memang kecewa.

Sejarawan Merle C Ricklefs dalam War, Culture, and and Economy in Java 1677-1726 (1993),  menggambarkan Amangkurat I sebagai penguasa paling brutal, dan tanpa sedikit pun keberhasilan selama memerintah.

“Jika Sultan Agung menaklukkan, menggertak, membujuk, dan bermanuver, Amangkurat I menuntut dan membantai.” (hlm. 31).

Hampir tidak ada perhatian terhadap keseimbangan politik. Amangkurat I terus-menerus membangun kekuasaan dengan tujuan kepentingan pribadi.

Pewaris Sultan Agung itu juga dianggap tidak memiliki kualitas kebajikan seorang raja.

Kitab peramal masa depan, Serat Jaya Baya, melukiskan Amangkurat I dengan metafora negatif:

“Kalpa sru semune kenaka putung” atau masa kelaliman yang diibaratkan dengan kuku yang putus -banyaknya petinggi dan panglima kerajaan yang dibunuh karena bertentangan dengan raja.

Amangkurat I, menurut Soemarsaid Moertono dalam State and Statecraft in Old Java: A Study of the Later Mataram Period, 16th to 19th Century (1968), adalah “raja yang istimewa lalimnya”.

Pasca kematian Amangkurat I, VOC menuntut pembayaran atas biaya perang.

Berdasarkan perjanjian 1678, kawasan Priangan jatuh ke tangan Belanda. Sejak itu kekuasaan Mataram mulai melemah. (*)

Baca juga ;

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.