
Aku merindukan masa lalu. Masa kanak-kanak di mana dunia masih terasa hangat dan ramah. Saat itu aku belajar tersenyum dan menghafal nama orang-orang di sekitarku. Juga menghafal namaku sendiri. Andjani. Nama yang langsung bisa menyaran pada identitasku, perempuan. Kakung yang memberiku nama itu. Untuk lebih memudahkan lidah orang-orang di sekitarku,maka aku dipanggil dengan sebutan Jeni.
Masa kecil memang terlalu singkat. Itu karena hari-hari berlalu begitu saja dengan sangat nyaman. Tak ada konflik yang berarti, juga tak ada dendam meski sering dilukai. Anak kecil belum kenal luka, belum kenal sakit hati, hanya kenal hal-hal sederhana, gembira atau menangis.
Di masa kanak-kanak itu, ibu mengajariku bernyanyi ‘trilili’ dan mbah Kung setia mendongeng tentang Kidang Nyolong Mbayung. Setiap sore dongeng itu mampir ke kupingku. Kakung menggandengku menyusuri tegalan jagung untuk menyaksikan matahari terbenam. Saat yang selalu aku nantikan, melihat bola merah itu menelusup di balik gunung.
“ Matahari tidur, Kung?”
“ Ya, matahari tidur sejenak memberi kesempatan pada kedua matamu yang belok itu untuk merem, agar kamu tidak silau dan bisa bermimpi terbang ke bulan.Ehm…Nduk, nanti malam bulan padang njingglang, kamu akan melihat mbakyu mu menari di sana.” Mbah Kung bercerita padaku, ia terkekeh ketika aku manggut-manggut pada ceritanya.
Waktu itu yang ku tahu memang matahari tidur sejenak. Mbah Kung tidak menjelaskan kalau bulan adalah satelit bumi yang tidak bersinar. Bulan tidak akan seindah itu tanpa pantulan sinar matahari. Hal itu ku ketahui ketika aku sekolah dasar. Bumi itu bulat. Matahari pergi ke belahan dunia yang lain untuk membuat belahan itu menjadi siang sementara yang ditinggalkan menjadi malam.
Ketika bulan penuh, aku akan berada di halaman rumah bersama mbah Kung.
“ Kau bisa melihat mbakyu mu menari, Nduk?” tanyanya tanpa melepas pandang dari bulan. Aku mengangguk dan tersenyum girang. Mbah Kung membuatku bisa melihat mbak Ani menari. Aku tidak menangkap bayangan apapun di sana, tapi Kakung terus bercerita, dan cerita-cerita Kakung membuat pikiranku menciptakan sosok mungil yang menari di dalam bulan. Aku sendiri yang membuat gendingnya dengan nafasku. Begitulah aku merasakan setiap aku menarik nafas. Nafasku yang berhembus merupakan angin yang menjadi gending dan mengiringi setiap gerakannya.
“ Mbak Ani menari apa, Kung?” tanyaku
“ Kau kenal tarian apa saja, Nduk?”
“ Aku tidak bisa menari.”
“ Siapa bilang.”
“ Menari itu kan harus menghafalkan banyak gerakan, Kung. Aku tidak mau. Kata Uti, aku tidak pantas menari, tanganku kaku.”
“ Benar kau tidak ingin menari?” Kakung mendesak dan bertanya lagi. Aku terdiam,
“ Ratih dan Arum sudah bisa nari merak.” Keluhku.
Ada penyesalan dalam hatiku. Aku ingin juga bisa menari, menjadi burung merak dan dimake up dengan kostum burung yang cantik itu. Tapi mbah Uti mengatakan aku tidak usah menari saja. Bikin malu kalau gerakan-gerakanku kaku dan langkahku selalu keliru. Kata mbah Uti, ngrayung dan ngruji pun aku tak bisa.
“ Mbakyu mu tidak nari merak.” Kakung berkata. Aku kembali menatap bulan.
“ Mbak Ani menari apa?”
“ Bagaimana gerakannya yang kau lihat ?”
Aku masih menatap bulan. Mengeja garis-garis yang menjelma gerakan-gerakan,
“ Berputar-putar, melompat, dan terbang.” Jawabku.
“ Apa yang mengiringi gerakannya, Nduk ?”
Aku menghirup nafas dan menghembuskannya perlahan,
“ Angin.” Jawabku.
“ Kau bisa merasakan angin itu sekarang?’
Aku menghirup nafas lagi, menghembuskannya perlahan, dan mengangguk pada Kakung. Lalu mbah Kung mengangkatku dari duduk, meletakkanku di tengah halaman, tepat di bawah bulan.
“ Perlihatkan pada kakung bagaimana mbakyu mu menari!”
Aku melihat ke bulan, lalu melangkah dan berputar. Mengikuti setiap gerakan kakakku yang seolah-olah benar-benar aku lihat. Aku mengikutinya berputar, meliuk-liuk, dan melompat seperti burung merak. Sebentar-sebentar aku melihat pada mbah Kung, ia manggut-manggut sambil tersenyum.
Aku berhenti bergerak ketika mbah Kung tepuk tangan. Sebenarnya aku masih ingin menari bersama mbak Ani, tapi kata mbah Kung, sudah waktunya aku tidur. Besok pagi aku tidak boleh terlambat ke sekolah. Sebelum masuk rumah, aku menyempatkan berpamitan pada mbak Ani di bulan. Aku ingin mengikuti tariannya lagi, lalu membikin janji untuk menari bersama-sama. Ia tersenyum padaku.
Aku kembali dalam pelukan ibuku. Kalau saja aku diijinkan tidur di kamar mbah Kung, tentu aku akan mendengar dongengnya lagi. Ibuku tidak pernah mendongeng.Dia hanya akan menyanyikan ‘trilili’ untukku di pagi hari sebelum aku sekolah. Dia seperti ibu yang lain. Merapikan bajuku, menyuapi sarapan, menyiapkan bekal, dan mengantarku ke sekolah. Aku tidak berani bercerita padanyabahwa tadi aku melihat mbak Ani menari. Ibu akan marah kalau aku menyebut namanya. Aku memejamkan mata, terlelap dengan dongengku sendiri tentang menari di bulan.
Kenangan adalah penjara. Aku meninggalkan ibu dan mbah Kung untuk belajar di Perguruan Tinggi di kota S. Kota S adalah sebuah kota besar namun begitu sesak dan pengap. Ibu dan mbah Kung merelakanku demi sebuah cita-cita. Tentang bapak, aku tidak tahu menahu. Biasanya, ketika pagi-pagi ibu mengantarku ke sekolah aku akan segera tahu jika semalam bapak tidak pulang lagi. Aku mengetahuinya dari mata ibu yang sembab dan merah. Semalaman pasti bapak di rumah Bu Dhe dan ngeloni mas Danu. Bapak memang lebih suka pada anak lanang. Itu tak berarti apa-apa bagiku. Aku tidak pernah ingin tidur dikeloni bapak, aku hanya ingin tetap diajari berenang. Aku juga tidak pernah berani membuat bapak marah meskipun aku sangat sedih mengetahui ibu menangis hampir tiap malam. Bagaimanapun, waktu itu aku belum bisa berenang.
Bapakku memang lebih sering tinggal di rumah istrinya yang lain karena di sana ada anak lanang. Tidak apa-apa, sebab bagiku, tugasnya sebagai bapak adalah menafkahi ibuku dan mengajariku berenang. Sekarang aku sudah bisa berenang. Bapak menjadi tidak penting. Ibu sering memarahiku kalau aku bersikap kasar pada bapak. Aku bukannya anak durhaka, aku hanya seorang anak yang menyayangi ibunya.
Hujan membawa aroma masa lalu itu kembali padaku. Aku sangat sensitif pada bau. Bau hujan, bau matahari terbenam, dan bau cahaya bulan. Nafasku sesak bila ingatan-ingatan itu datang. Aku rindu pada masa lalu. Bagaimana caraku bersua ? Mustahil! Lantas ada yang kutolak. Lupakan dan rinduku menghilang.
Aku menulis ini pada suatu hari di tahun baru. 1 Januari 2006, awal tahun, gerimis pagi-pagi. Pagi yang segar meskipun mataku enggan dibuka. Aku tetap harus membuka mata dan mengucapkan selamat pagi pada dunia. Semalam tidurku larut sekali, mengingat kenangan. Aku ingin menari tapi bulan tidak sedang bersinar, dan hanya dengan menuliskannya di buku harian, aku bisa kembali merasa nyaman.
Aku harus tetap berangkat ke kampus. Ini pagi yang segar meskipun tubuhku lesu dan tak berdaya, tetap ada yang harus dipertahankan. Waktu tak boleh tersumbat. Waktu memang harus terus bergulir. Semua hal berubah. TK, SD, SMP, SMA, dan kuliah. Sedang kulalui separoh perjalananku. Perjalanan yang menjadi lembaran-lembaran kisah hidupku. Aku sudah dewasa rupanya, ya, aku sudah dewasa.
Perempuan itu seperti muncul dari laut. Dia melangkah ke bibir pantai dengan sangat tenang. Dia menuju laut. Aku membayangkannya sebagai dewi lautan yang ingin kembali ke peraduan. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Saat ini aku berada pada jarak yang aman, dan jika ia hendak menenggelamkan diri, aku bisa segera berlari untuk menjadi pahlawan. Mungkin saja ia depresi dan putus asa, lantas ingin mengakhiri hidupnya.
Dugaanku meleset, meleset sangat jauh. Perempuan itu membuka tangannya, menghadap langit, dan berputar searah hembusan angin. Menakjubkan! Ia melangkah dan berlari seperti angsa berleher panjang. Perempuan itu menari. Tepat, ia menari. Rupanya ini hari keberuntunganku. Menyaksikan bidadari menari di bawah terang bulan di tepi pantai. Eksotis! Darahku mendesir. Kubidikkan kameraku. Ini akan jadi mahakarya.
Malam itu mataku nyaris tak terpejam. Aku menyaksikan hal yang unik. Perempuan dengan gaun ungu yang ketat membalut tubuhnya. Rambut hitam yang tergerai, liukan-liukan yang tegas dan lembut. Sinar bulan dan desir angin menuju laut. Malam-malam selanjutnya aku jadi sulit tidur, mendadak seperti kena serangan imsomnia. Setiap aku mencoba memejamkan mata, gadis ungu itu berputar-putar di otakku dan membuatku pusing. So, i need to know her. Itu keputusanku. The girl is mine.
Aku akan mendekatinya perlahan-lahan. Mendekati hatinya kalau memungkinkan. Itu cara paling mujarab untuk membuat perempuan-perempuan tunduk. Bodyku oke, wajah tak kalah cute dengan Keanu Reaves, aktor yang dipuja-puja kaum hawa. Semoga saja gadis itu belum punya pacar. Ia cantik, dan yang jelas bisa jadi sumber rezekiku.
Misiku berjalan. Aku menguntitnya lebih dari seminggu. Kalau tidak membuktikan dengan mataku sendiri aku tak akan percaya bahwa gadis yang menari di bibir laut itu begitu sederhana dan klasik. Gadis pendiam dengan kostum keseharian yang sportif. Jeans atau rok panjang dengan kaus atau kemeja khas perempuan. Rambut yang indah itu tak pernah tergerai, kalu tidak dikuncir, pasti disanggul dengan sumpit atau harnal.
Aku mencoba membuat komparasi dua penampakan yang begitu berbeda dari seorang perempuan yang telah membiusku itu. Aku mencetak fotonya lebih dari seratus lembar. Sebagian saat ia menari suatu malam itu. Tubuhnya terbalut gaun ungu yang lembut. Ingatanku melayang pada gadis-gadis di pesta-pesta dansa Kuba. La Nosa Negro, klub dansa paling mengesankan yang pernah kukunjungi. Foto-foto yang sebagian kuambil selama aku menguntitnya. Perbedaan yang sangat mencolok. Selalu menunduk membaca buku, ramah, tapi tidak punya banyak teman. Gadis ini sepertinya memang lebih suka menyendiri. Makhluk apakah ini? Apakah ia memang benar-benar bidadari?
Aku mempersiapkan suatu hari yang cerah untuk memulai perkenalan. Sekitar pukul setengah empat sore, ia akan terpekur dengan bukunya di tepi danau buatan, tepat di samping bangunan perpustakaan. Itu kebiasaannya selama aku jadi paparazi seminggu ini.
“ Hallo…,” aku menyapa.
“ Hallo juga.” Ia menjawab, tapi tak melihat ke arahku. Ia tetap terpaku pada bukunya. Aku jadi kecut dengan sambutannya, tapi aku terbiasa menghadapi perempuan meskipun yang satu ini termasuk jenis yang lumayan langka. Gadis ini menebarkan aura yang membuat tubuhku panas dingin. Aku melirik buku yang ia baca, barangkali bisa jadi bahan bicara yang menarik perhatiannya.
“ Kau sedang belajar menari?” ragu-ragu aku bertanya.
“ Memangnya kenapa?” ia menjawab ketus.
“ Tidak apa-apa, hanya…kau sedang membaca sejarah ballet. Aku jadi berpikir kau sedang belajar menari.”aku mencoba mencairkan kebekuan. Brengsek, dia seperti batu.
“ Atau…,”aku masih ragu berbicara, untuk membuatnya terkejut, tak apalah.
“ Kau mungkin seorang penari? Ballerina barangkali?”
Dia mendongak. Oh my Goodness, she is so beautyfull. Ini kali pertama ia memandangku.
“ Aku bukan penari. Aku seorang calon guru.” Ia berkata tegas, lantas menutup bukunya dan beranjak meninggalkanku. Aku turut pada langkahnya. Aku tahu mesti bersabar untuk menguak kemisteriusannya. Target hari ini: mengetahui siapa namanya.
“ Tentu kau seorang calon guru ballet?” tanyaku mendesak dan turut melangkah mengimbanginya. Ia menggeleng.
“ Lalu?”
“ Linguistik.” Jawabnya singkat. Ia berjalan menunduk, tapi aku tahu pasti, matanya yang besar itu senantiasa waspada terhadap segala sesuatu di depannya. Mendadak ia berhenti dan menghadapi wajahku. Katanya,
“ Saya tidak tahu siapa Anda dan apa kepentingan Anda. Saya bukan orang yang istimewa. Saya juga bukan penjahat yang harus dimata-matai. Ada yang ingin Anda tanyakan lagi? Saya harus segera masuk kelas.”
“ Boleh tahu namamu?”
“ Andjani. Cukup?”
“ Kau tidak menanyakan siapa aku dan mengapa aku tertarik padamu?”
“ Tidak. Siapa Anda dan apa kepentingan Anda, itu urusan Anda, bukan urusan saya. Permisi!”
Gadis itu memasuki ruang kelas, meninggalkanku yang masih terperangah dengan percakapan barusan. Andjani. Perempuan ini luar biasa. Ia mengetahui aku membuntutinya. Perempuan yang dingin, tapi aku tidak boleh menyerah. Perempuan selalu bisa ditaklukkan.
************************************************************************
Al kisah di suatu hari, seekor kidang induk sedang merumput bersama tiga anaknya di tepi sungai. Kidang induk terpesona melihat anak-anaknya yang dengan lahap makan rumput sambil bermain-main satu dengan yang lain.
“ Sebentar lagi mereka akan menyusu dan mengempeskan dadaku,”pikirnya, “ Dan rumput-rumput ini tak cukup untuk membuat air susuku penuh.” Ia membatin dengan sedih.
Di seberang sungai terhampar ladang mbayung yang hijau. Mbayung adalah tanaman sayuran yang berupa daun-daunan dari tanaman kacang panjang. Sekilas pandangan kidang induk tertuju ke sana, lalu menatap anak-anaknya, dan akhirnya kembali terpaku pada ladang yang hijau itu.
Dengan lincah dan terampil, ia melompat di atas batu-batu dan menyeberangi sungai. Ia mengendap-endap dan memakan mbayung selahap dan secepat mungkin.
“ Selesai, cukup, aku sudah sangat kenyang.” Pikirnya. Ia berbalik dan hendak bergabung kembali dengan anak-anaknya. Tapi, niatan menyusui anaknya buyar seketika. Pak tani berdiri angkuh, meghadang dengan goloknya.
“ Jadi selama ini kau yang selalu merusak sayuran-sayuranku?” kata pak tani geram.
“ Ti…ti…tidak. Ba…baru kali ini. Sungguh!” kidang induk ketakutan.
“ Aku tidak percaya dan aku tidak peduli sudah berapa kali kau mencuri mbayung-mbayung ku. Yang jelas kau sudah melakukan kesalahan. Kau harus dihukum. Istriku akan sangat senang kubawakan daging kidang.”
Kidang induk terperanjat. Itu berarti bahwa ia akan disembelih. Pikirannya langsung melayang pada anak-anaknya. Ia menangis.
“ Menyesal kemudian tiada berguna.” Kata pak tani.
“ Saya tahu.” Kidang induk menjawab lirih.
“ Tapi izinkan saya menemui anak-anak saya di seberang sungai. Saya ingin menyusui mereka dulu dan berpamitan.” Lanjutnya memohon.
“ Baiklah, aku tunggu kau di sini. Jangan mencoba-coba lari. Kalau sampai kau kabur, aku akan memburumu, juga anak-anakmu. Apa kau mengerti?” ancam pak tani. Kidang induk mengangguk lemah.
Kidang induk berjalan gontai menyeberangi sungai. Kidang-kidang kecil rupanya sudah menunggu. Mereka menyaksikan apa yang barusan terjadi pada ibunya. Sambil terisak si induk berkata,
“ Anak-anakku, ibu telah melakukan kesalahan. Pak tani akan menghukum ibu karena ibu mencuri mbayungnya. Ibu ingin menyusui kalian untuk terakhir kali. Setelah ini ibu akan benar-benar pergi dan tak kan kembali.”
Kidang-kidang kecil saling berpandangan. Lalu mereka menggeleng. Kidang induk terkejut tak percaya. Sorot matanya menyiratkan pertanyaan mengapa.
“ Bu, air susumu sudah tercemar karena ibu mencuri mbayung pak tani. Kami tidak ingin meminumnya. Ibu jangan khawatir, kami akan baik-baik saja. Kami akan merumput di sepanjang sungai ini dan meminum air sungai. Airnya sangat jernih, Bu”kata si sulung.
Kidang induk sangat terpukul mendengar jawaban anaknya. Ia menyayangi anak-anaknya dan sekarang mereka tak mau menyusu lagi. Ia benar-benar menyesali perbuatannya. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Ia harus tabah menjalani hukumannya. Disembelih tak seberapa sakitnya dibandingkan dengan ditolak anak-anaknya sendiri.
“ Baiklah, ibu akan pergi. Jaga diri kalian baik-baik. Ibu menyayangi kalian. Maafkan ibu…” kidang induk berpamitan.
Kidang induk berjalan gontai dan tak berdaya meninggalkan anak-anaknya. Menyeberangi sungai, menuju ladang pak tani dan menyerahkan diri.
“ Kami juga menyayangimu, Bu!” bisik anak-anak kidang itu. Mereka memandang kepergian ibunya tanpa berkedip. Bulir-bulir bening menetes dari mata mereka.
“ Selamat tinggal, Ibu.” Ucap si sulung sambil memeluk dua adiknya
Be the first to comment